Jumat, 29 April 2011

PEMBUKAAN LAHAN KELAPA SAWIT UNTUK PERBAIKAN TARAF HIDUP RAKYAT DAN ISU PEMANASAN GLOBAL : PENDEKATAN UTILITARIAN PADA AGRIBISNIS

PEMBUKAAN LAHAN KELAPA SAWIT UNTUK PERBAIKAN TARAF
HIDUP RAKYAT DAN ISU PEMANASAN GLOBAL :
PENDEKATAN UTILITARIAN PADA AGRIBISNIS
Evi Thelia Sari
Dosen Jurusan IBM Fak.Ekonomi Univ.Ciputra dan Mahasiswa Program Master of Arts in
Agribusiness Management, PSU, Hatyai, Thailand
Chandra Wijaya
Mahasiswa Jurusan IBM Fak. Ekonomi Univ. Ciputra, Surabaya
ABSTRAKSI
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat bermanfaat bagi peningkatan devisa Indonesia dan taraf hidup masyarakat. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia pada tahun 2006 dan memiliki lahan kelapa sawit terluas di dunia, Indonesia menjadi sorotan pemerhati lingkungan, khususnya dalam hal isu pemanasan global. Sementara di Indonesia sendiri, kelapa sawit memiliki peranan sangat penting bagi pengembangan daerah tertinggal dan penciptaan lapangan kerja (Chandran, 2008). Salah satu isu etika dalam agribisnis menurut Schroder dan Muschamp (2000), adalah mengenai lingkungan, yaitu berkenaan dengan kemakmuran atau keberlangsungan generasi sekarang dan yang akan datang, dan berkenaan dengan keberlangsungan spesies non-manusia. Paper ini akan membahas secara konseptual mengenai analisis pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan isu pemanasan global berdasarkan pendekatan utilitarian. Diharapkan melalui pembahasan dalam paper ini, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu merespon dengan tepat isu pemanasan global yang gencar diarahkan terhadap program pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sebagai langkah awal dalam memulai bisnis kelapa sawit demi memajukan perekonomian masyarakat daerah tertinggal.
Kata kunci: etika dalam agribisnis, pendekatan utilitarian, pemanasan global, lahan perkebunan kelapa sawit
PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang menjadi primadona Indonesia saat ini karena menjadi sumber penghasil devisa non migas. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Selama 14 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 ha pada tahun 1986 menjadi hampir 3 juta ha pada tahun 1999. Dan pada tahun 2004 luas area lahan sawit di Indonesia berkembang menjadi 3.320.000 ha. (ISTA Mielke, 2004). Hal ini disebabkan prospek yang sangat cerah untuk bisnis kelapa sawit, karena kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam mulai dari produk makanan, produk kimia sampai dengan bahan dasar penghasil energi. Seiring dengan kenaikan harga minyak konvensional dunia yang mencapai US$ 143 per barel pada Juli 2008 dan akan cenderung meningkat pada waktu-waktu mendatang, membuat negara-negara di dunia mencari material dasar lain untuk sumber energi. Salah satu pilihannya adalah bio diesel, yang diproduksi utamanya dari kelapa sawit. Meski pada beberapa kurun waktu belakangan ini, bio fuel juga dapat diproduksi dari tanaman jarak dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Akan tetapi agaknya, yang lebih populer di mata konsumen bio energi adalah kelapa sawit. Hal ini yang akhirnya mendorong Indonesia untuk terus membuka lahan baru bagi kelapa sawit. Efek dari pembukaan lahan ini dinilai bagus untuk masyarakat sekitar perkebunan, terlepas dari efek lingkungan yang mengikuti pembukaan lahan. Dampak positif dari pembukaan lahan sawit adalah penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar perkebunan, dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dalam hal produk-produk dari kelapa sawit, seperti produk makanan, oleokimia seperti sabun, deterjen, dan juga komestik, juga kebutuhan akan energi Meski demikian beberapa aliansi pecinta lingkungan seperti Walhi, WWF, dan Green Force, agaknya cukup gerah dengan rencana pemerintah Indonesia membuka lahan baru kelapa sawit. Dengan alasan, pembukaan lahan kelapa sawit baru berarti memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungan utamanya dalam hal pemanasan global. Dimulai daripengembangan areal perkebunan kelapa sawit yang utamanya dibangun pada areal hutan konversi padahal lahan kritis di Indonesia sudah mencapai 30 juta hektar akibat eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 2000), sampai dengan dampak yang lebih jauh terhadap pemanasan global akibat kenaikan temperatur dunia karena tidak adanya penahan CO2 yang biasanya terserap oleh zat hijau daun atau tumbuh-tumbuhan, padahal semakin banyak jumlah penduduk dunia, semakin banyak energi yang dikeluarkan oleh manusia dan menghasilkan CO2 (Reinhardt, 2007). Apalagi, justru pembukaan lahan sawit ada pada hutan konversi atau hutan lindung yang memiliki jumlah pepohonan paling banyak dan memiliki banyak manfaat terhadap ekosistem sekitarnya.
Pemerintah Indonesia agaknya memiliki dilema terlepas dari benar atau tidaknya ’tuduhan’ bahwa Indonesia memiliki kontribusi terhadap pemanasan global. Di satu sisi, pemerintah berkewajiban memakmurkan rakyatnya, dan salah satunya dengan pembukaan lahan sawit, untuk memakmurkan masyarakat sekitar lokasi perkebunan, tetapi di sisi lain, isu pemanasan global akibat pembukaan lahan sawit tidak bisa di diamkan begitu saja. Apapun jenis bisnis yang dikembangkan pemerintah, bahkan agribisnis sekalipun, diharapkan tetap memperhatikan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial.
Salah satu paham etika yang digunakan pada paper ini adalah utilitarian ethics atau etika konsekuensi atau teleology, yang menitik beratkan pada sisi outcomes dari perilaku etis daripada motivasi melakukan sesuatu (Schroder & Muschamp, 2000). Paper ini akan membahas secara konseptual mengenai analisis pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan isu pemanasan global berdasarkan pendekatan utilitarian. Jadi dalam paper ini nantinya akan dibahas mengenai nilai etika utilitarian pada aktivitas pembukaan lahan kelapa sawit, apakah konsekuensi dari pembukaan lahan kelapa sawit itu bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat setempat atau kah justru merugikan. Diharapkan melalui pembahasan dalam paper ini, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu merespon dengan tepat isu pemanasan global yang gencar diarahkan terhadap program pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sementara pembukaan lahan sawit adalah langkah awal dalam memulai bisnis kelapa sawit demi memajukan perekonomian masyarakat daerah tertinggal. Pada akhir paper ini akan disertakan pula usulanThe usulan teoritis yang mungkin dapat dilakukan oleh para pengambil kebijakan utamanya pemerintah Indonesia dalam hal kelapa sawit.

PEMBAHASAN
Perkebunan kelapa sawit
Di Indonesia, kelapa sawit sangat penting bagi pengembangan daerah tertinggal dan penciptaan lapangan kerja. Pemerintah terus menerus menyesuaikan kebijakan untuk meningkatkan daya tarik investasi. Tetapi kendala yang muncul dan memakan waktu yang lama adalah pengembangan infrastruktur, keterbatasan tenaga ahli dan konflik-konflik tanah, social dan lingkungan (Chandran, 2008). Indonesia memiliki 30-60 juta jiwa bergantung pada hutan selain itu 10% hutan yang masih tersisa di dunia ada di Indonesia dihuni oleh 10% spesies tanaman, 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% unggas yang ada di dunia. Selain itu, dari 11 juta ha lahan sawit di dunia, 6 juta ha berada di Indonesia. Bisa dimaklumi jika pecinta lingkungan menuding Indonesia sebagai biang pemanasan global akibat dampak negatif dari pembukaan lahan kelapa sawit. Padahal pemerintah Indonesia masih memiliki target lahan dua kali lipat dari jumlah sekarang pada tahun 2020 (Yuwono, et al., 2007).
Pengembangan sawit menyebabkan kerusakan hutan tropis dan pelepasan emisi karbon yang sangat besar karena pengelolaan lahan gambut dan kebakaran hutan. Pengelolaan lahan gambut dan deforestasi untuk kelapa sawit harus diperhatikan dengan seksama. Mengingat di Asia lahan gambut ditumbuhi hutan di Asia Tenggara 20 juta ha. Dampak pengelolaan lahan gambut antara lain drainase untuk pertanian dan kehutanan yang dikaitkan dengan kebakaran hutan, penyusutan gambut, infrastruktur dan polusi (Chandran, 2008). Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing) untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan biayanya murah.
Salah satu bukti nyata adalah pada saat terjadi bencana nasional kebakaran hutan tahun 1997 media masa nasional melaporkan bahwa dari 176 perusahaan yang dituduh melakukan pembakaran hutan dalam pembukaan lahan, terdapat 133 perusahaan perkebunan (Down to Earth, 1997). Oleh karena itu, pembangunan perkebunan kelapa sawit turut bertanggung jawab sebagai salah satu penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan seluas 10 juta hektar pada tahun 1998/97. Total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/98 diperkirakan mencapai US$ 9,3 milyar (Bappenas, 2000). Selain itu ditengarai para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Kayu IPK sangat dibutuhkan oleh industri perkayuan di Indonesia, terutama industri pulp dan kertas, khususnya setelah produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam produksi. Melihat kenyataan yang demikian agaknya kegiatan konversi hutan untuk pembangunan areal perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pengrusakan (deforestasi) hutan alam Indonesia, dan sekaligus menjadi ancaman terhadap hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan tropis Indonesia, serta menyebabkan berkurang/hilangnya habitat satwa liar. Belum lagi akibat terhadap kenaikan temperatur suhu dunia yang memanas (global warming). Sebagai informasi, laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000).
Pemanasan Global
Dalam jangka waktu panjang penebangan hutan untuk lahan sawit khususnya, atau untuk aktivitas lainnya, akan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan karena praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Hal ini menyebabkan pelepasan CO2 yang lebih besar ke udara, tanpa mampu terserap dengan baik, karena tumbuhan hijau yang menyerapnya telah musnah diperparah dengan semakin banyaknya CO2 yang dilepaskan karena pembakaran yang lebih banyak. Bagaimanapun juga, hal ini menyebabkan perubahan iklim mengancam elemen dasar menausia di dunia seperti akses terhadap air, makanan, kesehatan, penggunaan lahan dan lingkungan (Stern, 2007). Pembakaran yang melepaskan emisi CO2 menyebabkan pemanasan global yang diakibatkan oleh naiknya temperatur dunia. Kenaikan temperatur dunia ini dapat mencapai 2-3 oC dalam waktu 50 tahun ke depan, dan akan mengakibatkan kekeringan dan banjir (Stern, 2007: 65). Beberapa akibat dari kenaikan temperatur ini antara lain:
• Melelehnya glacier atau bukit es di kutub. Hal ini menyebabkan resiko bangjir selama musim hujan dan mengurangi persediaan air pada musim kemarau bagi 1/6 penduduk dunia, utamanya di India, sebagian Cina dan Andes di Amerika Selatan.
• Berkurangnya lahan tanaman, terutama di Afrika yang bisa jadi akan menyebabkan ratusan juta orang tidak mampu memproduksi atau membeli makanan dengan cukup.
• Kerusakan pada laut, merupakan effect langsung pada peningkatan karbondioksida dan akan menghasilkan efek pada ekosistem dan akibatnya akan mengurangi stok hasil laut, utamanya ikan.
• Naiknya volume air laut, jika pemanasan global mencapai 3-4 oC makan tiap tahun manusia akan mengalami banjir.
• Peningkatan angka kematian akibat mal nutrisi dan hawa panas
• Pada pertengahan abad ini, 200 juta orang lebih akan mengalami ’permanently displaced’
• akibat jangka panjang dari kenaikan volume air laut, yaitu banjir, kekeringan atau tanah longsor.
• Ekosistem akan terpengaruh, utamanya sekitar 15-40% spesies akan punah dengan pemanasan 2oC.
Melihat dari dampak jangka panjang pemanasan global yang cukup ’mengerikan’ ini, setidaknya pemerintah Indonesia harus mengambil sikap atau jalan tengah. Jika di satu sisi pembukaan lahan sawit harus dilakukan demi peningkatan kemakmuran rakyat, dan di sisi lain malah memberikan dampak-dampak tersebut, maka pemerintah, entah benar atau tidaknya ’tuduhan’ greenist atau pecinta lingkungan bahwasanya lahan sawit menyebabkan pemanasan global, harus berusaha untuk menyikapi secara benar dan arif serta membuat keputusan yang tepat yang tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.
Etika Dalam Agribisnis
Pada umumnya orang menganggap pertanian adalah sebuah usaha yang secara kasat mata dinilai etis karena produk-produknya yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Produk pertanian berupa bahan makanan sangat diperlukan oleh umat manusia, karena makanan merupakan kebutuhan pokok manusia di belahan dunia manapun. Tetapi etika sendiri tidak bias dilihat dari satu sisi motivasi saja. Kita perlu melihat dampak dari usaha pertanian itu sendiri apakah dampaknya selalu berguna dan aman bagi manusia atau tidak. Mungkin selama ini tidak terpikirkan bagaimana pengusahaan lahan untuk pertanian dan dampaknya bagi ekosistem dan bagaimana dampak pemakaian pupuk pada tanah, air dan udara.
Fungsi bisnis secara mikro maupun makro sebuah bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab soal (Sukardi dan Sari, 2007). Pada masa mendatang sebuah bisnis yang memiliki etika yang baik akan mendapatkan keuntungan bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi lingkungan sekitarnya seperti konsumen, masyarakat, supplier dan kreditur. Kata ’etika’ sendiri berasal dari ’ethos’ dan diterjemahkan dari bentuk jamak dari ’ethos’ yaitu ta etha yang diartikan oleh Aristoteles (384-322 SM) untuk menunjukkan bahwa etika adalah filsafat moral. Pendeknya, etika adalah ilmu yang secara khusus menyoroti perilaku manusia dari segi moral, bukan dari fisik, etnis dan sebagainya (Sukardi dan Sari, 2007). Nilai-nilai dalam etika ini berlaku secara universal. Etika bisnis sendiri memiliki definisi yang beragam, tetapi memiliki pengertian yang sama, yaitu tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi/sosial, penerapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai batasan-batasan sosial, ekonomi, dan hukum yang bersumber dari nilai-nilai moral masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan oleh perusahaan dalam setiap aktivitasnya (Amirullah dan Imam Hardjanto, 2005). Dalam menganalisa etika dalam bisnis atau dalam bidang lain, termasuk agribisnis, setidaknya ada dua macam tipe kategori masalah etika (Nash, 1990), yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I menyatakan tidak ada konsensus pada isu-isu etika dari suatu tindakan. Contohnya, modifikasi genetika pada tanaman atau penggunaan binatang pada penelitian bio medis. Sedangkan pada tipe II, mengandung konsensus umum mengenai norma yang sesuai, standar atau tindakan tertentu, tapi masyarakat cenderung melanggar konsensus, seperti pada kasus pencemaran limbah pada aliran sungai. Semua orang mengetahui kalau hal tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum maupun moral, karena merugikan masyarakat banyak, apalagi air adalah kebutuhan pokok manusia. Tetapi mengapa masih ada yang melanggar dan melakukan pencemaran? pertanyaan seperti ini muncul pada masalah tipe II.
Pada agribisnis kelapa sawit, masalah tipe I terdapat pada kasus yang menjadi topik paper ini, yakni penggunaan hutan konversi untuk pembukaan lahan baru kelapa sawit, sementara kelapa sawit sangat diperlukan oleh manusia. Menurut James (2002), pertanian merupakan contoh masalah etika tipe I, yakni adanya konflik antara teori utilitarian dan deontologi.
Mengenai boleh atau tidaknya suatu tindakan dilakukan karena suatu tindakan akan membawa efek bagi pihak lain. Bahkan ekstrimnya, pertanian itu harus dibatasi sedemikian rupa agar tidak membahayakan lingkungan, mengingat ketika memulai mengusahakan pertanian, maka akan timbul persoalan baru, seperti pembebasan lahan dan penggunaan pestisida yang dapat mencemari tanah, air dan udara meski pertanian berguna untuk menghasilkan makanan bagi manusia.
Tipe I semakin menguat dengan adanya dua teori etika yang dominan, yakni utilitarian dan deontologi (James, 2000). Dari sisi utilitarian, suatu tindakan dikatakn etis apabila total kemakmuran yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari pada total kemakmuran yang dapat dihasilkan oleh perlaku tindakan pada posisi yang sama. Dalam bisnis kelapa sawit, jika pembukaan lahan membawa kemakmuran yang lebih besar dari semua pihak dibandingkan jika tidak dilakukan pembukaan lahan sawit. Kontroversi pembukaan lahan sawit yang terus menerus dan ditengarai menimbulkan pemanasan global merupakan ciri khas tipe I.
Pada tipe II, masalah etika akan muncul ketika suatu pihak/individu memiliki insentif untuk melanggar etika yang ada. oleh sebab itu biasanya masalah tipe II ini muncul setelah masalah tipe I terpecahkan, dimana masalah tipe I adalah menitikberatkan pada konsensus, sementara pada tipe II adalah salah satu konsistensi dan kepatuhan. Tipe II tidak memperhatikan konflik perspektif antar individu tetapi lebih ke arah adanya insentif tertentu terhadap pelanggaran suatu norma etika. Tipe II lebih mudah dipahami ketika kita mengenali bahwa perilaku etis dipengaruhi oleh faktor individu dan institusi. Pada tingkat individu etika dipengaruhi oleh sensitivitas, nilai personal dan perkembangan moral seseorang, sejalan dengan sikap, kepercayaan dan keinginannya. Sedangkan pada tingkat institusional, perilaku etis dipernfaruhi oleh kondisi faktor eksternal terhadap individual seperti struktur organisasi formal, perangkat hukum, budaya informal dan mekanisme peraturan.
Masalah bisnis yang diangkat pada paper ini adalah agribisnis kelapa sawit yang difokuskan pada pembukaan lahan sawit berkaitan dengan isu pemanasan global. Masalah etik tipe I pada kasus ini adalah konflik perspektif mengenai dampak pembukaan lahan sawit. Pada beberapa pihak berpendapat, pembukaan lahan sawit hanya akan mengurangi jumlah hutan konversi di Indonesia. Karena pembukaan lahan sawit biasanya menggunakan system pembebasan lahan konversi. Sejalan dengan hal tersebut, kurangnya hutan konversi mengakibatkan dampak negatif yang langsung dan tidak langsung bagi masyarakat sekitarnya dan juga bagi masyarakat di luar lokasi. Hutan yang telah ditebang, tidak mampu lagi menjadi penyimpan air saat hujan turun, sehingga timbullah banjir dan tanah longsor, akibat tidak adanya pohon-pohon sebagai penahan. Dalam jangka panjang, kurangnya jumlah hutan konversi tersebut akan mengakibatkan naiknya temperatur dunia karena pelepasan karbon dioksida tidak terbendung lagi dan tidak mampu diserap oleh tumbuhan. Sementara itu pihak yang setuju dengan pembukaan lahan baru kelapa sawit berpendapa bahwa lahan baru tersebut akan memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar, sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan tambahan penghasilan sehingga dalam jangka panjang akan meningkatkan angka kemakmuran rakyat. Belum lagi, tren bisnis kelapa sawit yang konsisten pada tingkat yang tinggi, akan merangsang pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi kelapa sawit sehingga volume ekspor kelapa sawit dan produk-produk turunannya meningkat. Selain itu, penggunaan bio fuel kelapa sawit mampu menggantikan energi dari fosil yaitu minyak dan gas bumi yang belakangan harganya di pasaran dunia meningkat tajam. Dari konflik yang terjadi pada tipe I, agaknya akan diikuti oleh tipe II, yakni jika pembukaan lahan hutan konversi untuk lahan kelapa sawit menimbulkan dampak negatif yang cukup ’mengerikan’ dibandingkan dampak positif yang sepertinya menguntungkan tetapi pada kenyataannya hanya segelintir orang yang mampu menikmatinya, mengapa permbukaan lahan sawit sepertinya terus berlangsung di Indonesia? Mengenai hal ini, rupanya, insentif dasar pertimbangan untuk jawaban permasalahan tipe II telah berlangsung pada level institusional, yakni negara atau pemerintah Indonesia. Pemerintah sepertinya lebih memilih memanfaatkan tren pasar dunia terhadap komoditi kelapa sawit daripada memusingkan masalah lingkungan yang dapat rusak karena pembukaan lahan sawit yang terus menerus. Insentif yang diterima pemerintah dari ’perusakan’ lingkungan ini tentu saja berupa rupiah yang terus mengalir dari peningkatan volume ekspor kelapa sawit. Selain itu berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Hal ini yang menambah keyakinan bahwa ke depan, pembukaan lahan sawit baru akan terus berlangsung.


Pendekatan Utilitarian
Etika menurut Schoerder dan Muschamp (2005) memiliki empat pendekatan, yaitu :
- Utilitarianism (teleology/consequentism)
- Deontology
- virtue ethics
- Rights Ethics
Akan tetapi dari ke empat pendekatan atau teori tersebut yang terbesar adalah utilitarian dan deontologi. Maka dalam paper ini hanya akan dijelaskan kedua teori tersebut dan selanjutnya akan menggunakan teori utilitarian untuk membahas masalah yang diangkat dalam paper. Utilitarian merupakan pendekatan atau teori etika yang memusatkan pada hasil dari perilaku etis daripada motivasi yang mendorong dikalkukannya suatu aktivitas tertentu. Ada tiga hal yang menimbulkan teori utilitarian, yakni:
- Karena kita tidak dapat mengetahu pasti hubungan antara tindakan dan konsekuensinya
- Tradeoff atau konflik memang perlu ada
- Dalam masyarakat Barat, kita menerima bahwa semua individu sesungguhnya
memiliki hak asasi termasuk hak untuk hidup dan hal ini tidak dapat dilanggar bahkan apabila ada tawaran peningkatan kemakmuran. Kelebihan dari teori utilitarian ini adalah bahwa teori ini tidak bias dan tidak bersifat pribadi karena prinsip maksimisasi utilitas menghendaki pelaku tidak mementingkan salah satu pihak di atas pihak yang lainnya, serta untuk dunia manajerial, hal ini berkaitan erat dengan analisis keputusan mengenai akibat keputusan bisnis bagi stakeholder. Sedangkan teori deontologi yang berasal dari Immanuel Kant (1724-1804) memiliki cirri khas fokus pada individual. Sistem deontologi dibangun dari tiga dasar, yaitu rules, duties, dan rights atau hukum, kewajiban dan hak. Kant berpendapat bahwa tiap orang memiliki maxim atau hukum yang sama karena dibatasi oleh prinsip kesemestaan (Would I want every one to behave in the same manner?) dan prinsip timbal balik (Would I want that rule applied to me?). Tetapi kritikus terhadap teori mengungkapkan kelemahan deontologi antara lain:
- tidak mampu menjelaskan hal tertentu yang harus dihormati
- tidak memberikan hubungan yang jelas antara hak dan kewajiban
- tidak menjelaskan hak-hak yang diprioritaskan
- tidak memberikan bimbingan pada lingkungan, hal-hal yang melanggar aturan atau hak
Paper ini menggunakan teori utilitarian karena pendekatannya tidak bias dan tidak bersifat pribadi , sehingga ketika membahas etika bisnis, analisis yang dihasilkan akan lebih umum dan tidak individual. Selain itu maslah yang timbul dalam agribisnis merupakan dampak atau akibat dari suatu aktivitas, sehingga lebih tepat menggunakan teori utilitarian. Pembukaan lahan sawit dan isu pemanasan global, terlepas dari benar-tidaknya isu tersebut, apabila kasus ini ditinjau dari sisi utilitarian, maka sebenarnya tindakan membuka lahan sawit tersebut adalah tidak etis. Hal ini dikarenakan teori utilitarian menghendaki adanya keuntungan atau kemakmuran yang dihasilkan dari suatu aktivitas yang lebih besar daripada aktivitas lainnya. Sementara pembukaan lahan kelapa sawit dengan menggunakan hutan konversi agaknya malah akan memperparah kondisi masyarakat sekitarnya dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang akan membawa bencana ekosistem bagi seluruh umat di dunia melalui pemanasan global. Meski pada sisi yang positif masih bisa kita lihat manfaat lahan kelapa sawit seperti yang telah di sebutkan pada bagian lain paper ini.


KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari pembahasan di atas, tampak nya sulit bagi pihak berwenang untuk mengambil keputusan yang etis. Meski secara utilitarian, pembukaan lahan sawit dengan mengorbankan lahan gambut yang biasanya ditumbuhi tanaman hutan, tidak dapat dibenarkan secara etis karena efeknya yang negatif yakni pemanasan global, akan tetapi masalah tipe II dari etika selanjutnya, mengapa hal tersebut dibiarkan oleh pemerintah, bahkan pemerintah cenderung menambah jumlah lahan baru kelapa sawit? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah masih seputar isu-isu kemakmuran yang ingin diraih pemerintah demi rakyat Indonesia. Dengan adanya lahan sawit tersebut akan timbul lapangan kerja baru, dan infrastruktur yang lebih baik, karena biasanya dalam pembukaan lahan sawit, perusahaan yang memiliki bisnis kelapa sawit akan membuka jalur transportasi. Dilema ini yang membuat pemerintah harus berhati-hati. Sebab pengabaian terhadap isu-isu pemanasan global yang dilontarkan pecinta lingkungan dunia dapat berakibat fatal, apabila keberadaan dan propaganda mereka mampu ’memboikot’ produk kelapa sawit Indonesia setelah berhasil mempengaruhi masyarakat untuk mencintai produk ramah lingkungan.
Dari kajian-kajian teoritis mengenai etika, ketika diperhadapkan pada masalah Tipe I, maka harus ada konsensus yang jelas antara pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah harus mampu menjamin tidak adanya kerusakan hutan yang lebih parah dikemudian hari dan mencari jalan keluar atau teknologi baru untuk memperluas produksi kelapa sawit di Indonesia tanpa membakar hutan untuk membuka lahan. Selanjutnya, lahan kritis dan/atau lahan terlantar yang sudah tersedia dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta ha, perlu segera dimanfaatkan secara optimal dan harus diprioritaskan untuk "dikonversi", termasuk diprioritaskan untuk areal pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, lahan kritis dan/atau lahan terlantar tersebut dapat direhabilitasi menjadi lahan yang produktif, dan dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi. Selanjutnya, pemerintah perlu memberikan sanksi yang tegas dan jelas terhadap pihak pelaku kegiatan konversi hutan yang tidak bertanggung jawab, termasuk yang hanya ingin mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK, namun kemudian menelantarkan lahan menjadi semak belukar dan/atau lahan kritis baru. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kepada perusahaan pembuka lahan hutan dengan cara membakar.
DAFTAR REFERENSI
Amirullah dan Imam Hardjanto. 2005. Pengantar Bisnis. Penerbit Graha Ilmu: Yogyakarta
Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Bahan ceramah dan diskusi. Komitmen
Indonesia dan isu-isu internasional tentang kehutanan dan perkebunan. D-5. Rakernas
2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 26-29 Juni 2000.
Bappenas. 2000. Kerugian ekonomi kebakaran hutan tahun 1997-1998. Jakarta.
Chandran, M.R. 2008. The Implication of RSPO on The Palm Oil Industry. Paper presented on
Oil Conference and Price Outlook 2008. Bali: Indonesia
Down to Earth. 1997. The 1997 Fires: Responsibility rests with Suharto. Down to Earth No. 35,
November. London.
ISTA Mielke GmBH. 2004. Oil World Annual 2004. Hamburg
James, Harvey S.JR. 2002. Finding Solution to Ethical Problems in Agriculture. Working Paper
No. AEWP 2002-04. Department of Agricultural Economics. Universty of Missouri :
Columbia
Manurung, E.G.T. Mengapa Konversi Hutan Alam Harus Dihentikan? Makalah disampaikan
pada acara Seri Lokakarya Kebijakan Kehutanan, Topik 1: "Moratorium Konversi Hutan
Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu Sarat Hutang." Diselenggarakan oleh
Dephutbun bekerja sama dengan NRMP.Jakarta, 8-9 Agustus 2000.
Nash, L.L.1990. Good Intentions Aside: A Manager’s Guide to Resolving Ethical Problems.
Harvard Business School. Boston, MA
Reinhardt, Guido, , Nils Rettenmaier and Sven Gartner. 2007. Environmental Effects on Palm
Oil Industry. Rain Forest for Bio diesel? Ecological Effect of Using Palm Oil as a Source
of Energy. WWF Germany, Frankfurt am Main, April.
Schroder, Bill and David Muschamp. 2000. Developing and Agribusiness Ethics Curriculum.
Paper presented to The International Management Agribusiness Association Forum, June.
Stern, Nicholas. 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge:
UK
Sukardi, Paulus dan Evi Thelia Sari. 2007. Bisnis Internasional: Sebuah Perspektif
Kewirausahaan. Penerbit Graha Ilmu : Yogyakarta
Yuwono, Eko Hari, Purwo Susanto, Chairul Saleh, Niviar, Andayani, Didik Prasetyo, Sri Suci
Utami Atmoko. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Konflik Manusia Orangutan di
Dalam dan Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit. WWF-Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar