Senin, 06 Juni 2011

teknik dan teknologi budidaya ubi kayu

TEKNOLOGI PRODUKSI UBI KAYU
Ubikayu umumnya ditanam di lahan kering yang sebagian besar kurang subur. Produktivitas di tingkat petani saat ini masih sekitar 12 t/ha umbi segar, padahal dengan teknologi budidaya yang tepat, varietas unggul baru ubikayu dapat menghasilkan lebih dari 35 t/ha umbi segar. Ubikayu biasa ditanam secara monokultur maupun tumpangsari dengan kacang-kacangan. Sebagian besar budidaya ditujukan untuk bahan baku industri tepung dan pakan, sehingga varietas yang ditanam dipilih yang mempunyai kadar pati tinggi. Untuk keperluan konsumsi langsung bisa dipilih varietas yang memiliki tekstur danrasa enak.
BUDIDAYA MONOKULTUR
1. Penggunaan bibit unggul.
• Stek untuk bibit sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan
• Kebutuhan bibit 10.000–15.000 stek per hektar.
2. Pengolahan tanah
• Tanah diolah sedalam sekitar 25 cm
• dibuat guludan/bedengan dengan jarak 80–130 cm
3. Penanaman.
Stek ditanam di guludan (jarak antarbaris 80–130 cm) dan jarak di dalam barisan 60–100 cm.
4. Pemupukan
• Umur 7–10 hari dipupuk 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan50 kg KCl per hektar.
• Umur 2–3 bulan dipupuk 75 kg Urea dan 50 kg/ha KCl.
• Umur 5 bulan ditambahkan 75 kg/ha Urea.
5. Penyiangan, dilakukan seperlunya sehingga tanaman bebas gulma hingga umur 3 bulan.
6. Pembumbunan pada umur 2–3 bulan setelah tanam.
7. Pembatasan tunas dilakukan pada umur 1 bulan, dengan menyisakan 2 tunas yang paling baik.
8. Panen dapat dilakukan mulai umur 8–10 bulan, namun dapat ditunda hingga umur 12 bulan.

BUDIDAYA TUMPANGSARI
1. Penggunaan bibit unggul
• Stek untuk bibit sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan
2. Pengolahan tanah
• Tanah diolah sedalam sekitar 25 cm
• Guludan dibuat setelah panen tanaman sela (pembubunan)
3. Jarak tanam
• Jarak tanam ubikayu (50; 200) cm x 100 cm. 50 cm dan 200 cm adalah jarak antarbaris tanaman dan 100 cm adalah jarak antartanaman.
• Di antara baris tanaman yang berjarak 200 cm ditanami kedelai, kacang tanah atau kacang hijau.
4. Pemupukan untuk ubikayu
• Untuk daerah beriklim kering, pada saat ubikayu berumur 7–10 hari dipupuk dengan 100 kg ZA + 100 kg SP36 + 50 kg KCl/ha. Sedangkan untuk daerah beriklim basah dan masam, pupuk yang diberikan adalah 300 kg kapur, 50 kg Urea + 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha.
• Umur 60 hari, dipupuk 75 kg Urea/ha.
• Umur120 hari dipupuk 75 kg Urea dan 50 kg KCl/ha.
5. Pemupukan untuk tanaman sela
Untuk daerah beriklim kering, tanaman kacang-kacangan dipupuk: 50 kg ZA, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Untuk daerah beriklim basah dan masam, pupuk yang diberikan adalah 300 kg kapur, 50 kg Urea, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Pupuk diberikan pada saat tanam.
6. Penyiangan menyesuaikan dengan kebutuhan, baik untuk tanaman ubikayu maupun untuk tanaman kacang-kacangan.
7. Pembatasan tunas ubikayu dilakukan pada umur 1 bulan, dengan menyisakan 2 tunas yang paling baik.
8. Setelah tanaman kacang-kacangan dipanen, sebaiknya ditanami tanaman penutup tanah (kanavalia atau komak).
9. Pengendalian hama atau penyakit hanya ditujukan untuk tanaman kacang-kacangan.
10. Ubikayu dapat dipanen pada umur 8–10 bulan, namun dapat ditunda hingga umur 12 bulan.

UBI KAYU
Pertanian merupakan salah satu sektor sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar dan beragam. Namun, sampai saat ini sector pertanian belum handal dalam mensejahterakan petani, memenuhi kebutuhan sendiri, menghasilkan devisa, dan menarik investasi (Karama, 2004). Menurut Hilman, dkk. (2004), khusus untuk ubikayu, perannya dalam perekonomian nasional terus menurun karena dianggap bukan komoditas prioritas sehingga kurang mendapat dukungan investasi baik dari sisi penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pengadaan sarana dan prasarana, serta dalam pengaturan dan pelayanan. Akibatnya luas areal panen terus berkurang dan produktivitas tidak meningkat secara nyata.
Salah satunya penyebabnya adalah belum tepatnya teknologi untuk meningkatkan pendapatan petani ubikayu. Hal ini dikarenakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia belum dimanfaatkan secara maksimal dalam pengelolaan usahatani ubi kayu baik di lahan kering maupun lahan sawah, sehingga produktivitas hasil pertanian masih sangat beragam. Selain itu juga disebabkan oleh kemampuan masyarakat yang masih beragam dalam menyesuaikan pola yang sudah dimiliki dengan sumberdaya lahan yang tersedia (Dahlan, 1995).
Kondisi di atas juga ditemui di Propinsi Sumatera Barat. Data BPS Sumatera Barat (2007) menunjukkan bahwa meskipun setiap tahun rata-rata produksi tanaman ubikayu cenderung meningkat (12,50-17,06 t/ha. namun lebih rendah dari potensinya yang mencapai 35-40 t/ha (Balitkabi, 2004). Sementara itu, permintaan terhadap komoditas ini cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan, serta meningkatnya volume ekspor ubikayu.
Permintaan akan ubikayu juga akan terus meningkat seiring dengan terus naiknya dan melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) di pasar dunia. Bagi Indonesia, kenaikan harga BBM akan menguras lebih banyak devisa karena sebagian besar kebutuhan BBM nasional dipenuhi oleh impor sehingga pemerintah telah mencanangkan program pemanfaatan sumber energi alternatif yang tertuang dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 5 tahun 2006 tentang konsumsi energi biofuel lebih dari 5% pada tahun 2025, dan INPRES No. 1 tahun 2006 kepada Menteri Pertanian tentang percepatan penyediaan bahan baku biofuel. Salah satu alternative yaitu:
(1) biodiesel untuk mensubstitusi solar yang berasal dari minyak kelapa sawit dan minyak jarak pagar;
(2) bioethanol untuk mensubsitusi premium yang berasal dari ubikayu, sorgum, dan tebu. Berbagai penelitian menunjukkan bioethanol dapat digunakan untuk bahan campuran premium hingga kandungan 20% dengan kadar oktan 10% lebih tinggi dibandingkan dengan premium murni dan tidak mempengaruhi kinerja mesin kenderaan (Puslitbangtan, 2007).
Tugas DEPTAN adalah mendorong penyediaan bahan baku termasuk memfasilitasi penyediaan bibit dan mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan pascapanen tanaman bahan baku biofuel.

STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI
Menurut Wargiono (2007), untuk meningkatkan produksi ubikayu diperlukan strategi dengan paling tidak dua pendekatan, yaitu: (1) Penambahan Areal Panen; dan (2) Perbaikan Mutu Intensifikasi. Untuk mencapai tingkat produktivitas yang menguntungkan, mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan lebih efektif.
1. Penambahan Areal Panen (PAP) Peningkatan produksi dengan pendekatan PAP dapat dilakukan melalui:
• pembukaan lahan baru;
• tumpang sari; dan
• peningkatan indeks panen.
a. Pembukaan Lahan Baru. Untuk lahan baru, dapat memanfaatkan lahan tidur yang luasnya cukup besar di Propinsi Sumatera Barat.
b. Tumpang Sari. Tumpang sari bertujuan untuk meningkatkan areal tanam dengan cara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, dan aneka kacang-kacangan serta dengan tanaman hutan industri dan perkebunan yang diremajakan. Kelebihan tumpang sari adalah: (1) efektif mengendalikan erosi; (2) meningkatkan efisiensi penggunaan lahan; (3) meningkatkan pendapatan bersih/tahun dan terdistribusi secara merata; (4) meningkatkan efisiensi penggunaan hara; dan (5) memperbaiki fisik dan kimia tanah. Sedangkan kekurangannya adalah: (1) terjadinya kompetisi pengambilan hara dan cahaya matahari antar tanaman; dan (2) curahan tenaga kerja yang lebih banyak. Pada lahan peka erosi dianjurkan menggunakan pola tumpang sari ubikayu dengan padi gogo dan aneka kacang-kacangan.
c. Peningkatan Indeks Panen. Peningkatan indeks panen dapat dilakukan yaitu penanaman ubikayu setelah padi, jagung, dan aneka kacang-kacangan monokultur di lahan kering dan setelah padi sawah pada lahan sawah tadah hujan.
2. Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI)
Upaya peningkatan produksi dengan pendekatan PMI diarahkan pada peningkatan produktivitas berdasarkan indikator tingkat hasil ubikayu belum menembus batas potensi genetiknya. Komponen teknologi yang perlu penanganan serius sejak awalnya adalah varietas yang sesuai dan bibit yang tersedia secara tujuh tepat (waktu, kuantitas, kualitas, harga, tempat, dan kontiniutas). Untuk mencapai sasaran tersebut dapat dilakukan penangkaran bibit dari varietas terpilih, misalnya: Bibit Penjenis (BS) diperbanyak di Balai Benih atau kebun Percobaan yang diawasi oleh pemulia dan staf BPSB, Bibit Dasar (FS) dari penangkar BS akan diperbanyak penangkar lokal yang akan menghasilkan Bibit Pokok (SS) yang siap dikembangkan petani. Agar hasil ubikayu dapat ditingkatkan, perlu perakitan teknologi budidaya sesuai dengan spesifik daerah, meliputi antara lain: varietas, kualitas bibit, cara tanam, populasi tanaman, pemupukan, umur panen, dll).
Sementara itu, menurut Hilman, dkk (2004), agar ubikayu menjadi sumber pendapatan petani diperlukan dua pendekatan, yaitu: (1) Mempertahankan status quo produksi yang dimplementasikan ke dalam sistem tumpang sari dengan penerapan teknik budidaya intensif, menghemat penggunaan lahan dan sisa lahan untuk budidaya tanaman yang bernilai ekonomi tinggi; dan (2) Mengganti ubikayu dengan komoditas lain yang bernilai ekonomi, yang dimplementasikan ke dalam alih usahatani ubikayu ke lahan marjinal.
Mengacu kepada PERPRES No. 5 tahun 2006, peningkatan produksi ubikayu sebagai bahan baku bioethanol dapat diupayakan melalui beberapa pendekatan, yaitu:
a. pengembangan sistem produksi ramah lingkungan;
b. Peningkatan kemitraan antara swasta dan pemerintah
c. Pemberdayaan masyarakat; dan
d. Pengembangan teknologi hasil penelitian (Puslitbangtan, 2007). Dalam operasionalnya, upaya peningkatan produksi ubikayu dapat ditempuh melalui program intensifikasi oleh petani dan program ekstensifikasi dalam bentuk ”kebun energi” oleh pihak swasta atau industry bioethanol. Gubernur dan Bupati sangat berkepentingan dalam mengimplementasika INPRES No. 1 tahun 2006 dengan memfasilitasi penyediaan lahan bagi pengembangan ubikayu.

SYARAT TUMBUH
Untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen (Wargiono, dkk., 2006). Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan tanaman tiap fase pertumbuhan. Pada umumnya daerah sentra produksi ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E (Wargiono, dkk., 1996), serta jenis lahan yang didominasi oleh tanah alkalin dan tanah masam, kurang subur, dan peka terhadap erosi.

VARIETAS UNGGUL
Gunakan varietas unggul yang mempunyai potensi hasil tinggi, disukai konsumen, dan sesuai untuk daerah penanaman. Sebaiknya varietas unggul yang dibudidayakan memiliki sifat toleran kekeringan, toleran lahan pH rendah dan/atau tinggi, toleran keracunan Al, dan efektif memanfaatkan hara P yang terikat oleh Al dan Ca, seperti: varietas Adira-4, Malang-6, UJ3, dan UJ5.
Jika produksi ubikayu ubikayu ditujukan untuk bahan baku industri tapioka atau tepung/serbuk ubikayu atau dikonsumsi langsung dalam bentuk ubikayu goreng atau rebus, disarankan menggunakan varietas unggul yang dilepas tahun 1978 yang memiliki rasa enak dan kualitas rebus yang baik, seperti: Adira-1, Malang-1, dan Darul Hidayah. Sisanya, termasuk Adira-4 yang dilepas tahun 1987 dan sampai sekarang masih cukup luas ditanam petani namun memiliki rasa pahit. Selain itu, yang dilepas terakhir yaitu: Malang-4 dan Malang-6. Juga varietas UJ-3 dan UJ-5 yang dilepas kemudian. Jika produksi ubikayu ditujukan untuk bahan baku bioethanol, harus memenuhi kriteria, yaitu:
a. berkadar pati tinggi;
b. Potensi hasil tinggi;
c. Tahan cekaman biotic dan abiotik; dan
d. Fleksibel dalam usahatani dan umur panen.
Dari 16 varietas unggul ubikayu yang telah dilepas Departemen Pertanian hingga saat ini, Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 memiliki karakter yang sesuai dengan kriteria tersebut. Sifat penting dari keempat varietas ini adalah:
a. Daun tidak cepat gugur;
b. Adaptif pada tanah ber-pH tinggi dan rendah
c. Adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma; dan
d. Dapat dikembangkan pada pola tumpang sari (Wargiono, dkk., 2006).
Karakteristik beberapa varietas unggul ubikayu.
• Adira-1
Dilepas tahun 1978; umur 7-10 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong; warna pucuk daun coklat; warna tangkai daun merah bagian atas dan merah muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat; warna kulit umbi coklat bagian luar dan kuning bagian dalam; warna daging umbi kuning; kualitas rebus baik; rasa enak; kadar tepung/pati 45%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN 27,5 mg; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight, CBB), layu Pseudomonas solanacearum, Xanthomonas manihotis
• Adira-2
Dilepas tahun 1978; umur 8-12 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong dan gemuk; warna pucuk daun ungu; warna tangkai daun merah muda bagian atas dan hijau muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua putih coklat; warna kulit umbi putih coklat bagian luar dan ungu muda bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 41%; kadar protein 0,7% (basah); kadar HCN 124 mg/kg; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum)
• Darul Hidayah
Dilepas tahun 1998; Umur 8-12 bulan; Bentuk daun Menjari agak ramping; Warna daun pucuk Hijau agak kekuningan; Warna tungkai daun tua Merah; Warna batang muda Hijau; Warna batang tua Putih; Kulit ari batang Tipis mudah mengelupas (tidak tahan disimpan lama); Warna kulit umbi Bagian luar putih kecoklatan, bagian dalam merah jambu; Warna daging umbi Putih; Tekstur daging umbi Padat; Bentuk umbi Memanjang; Kualitas rebus Baik; Rasa Kenyal seperti ketan; Kadar pati 25,00– 31,52%; Kadar HCN Rendah (<40); Potensi hasil 102,10 t /ha umbi segar; Hama penyakit Agak peka terhadap serangan hama tungau merah (tetranichus sp) dan penyakit busuk jamur. • Adira-4 Dilepas tahun 1987; umur 8 bulan; bentuk daun biasa agak lonjong; warna pucuk daun hijau; warna tangkai daun merah kehijauan (muda hijau kemerahan) bagian atas dan hijau kemerahan (hijau muda) bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua abu-abu; warna kulit umbi coklat bagian luar dan ros bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus bagus tetapi agak pahit; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 25-30%; kadar protein 0,8% (basah); kadar HCN 68 mg/100 g; hasil 25-40 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri hawar daun CBB, layu Pseudomonas solanacearum, Xanthomonas manihotis. • Malang-1 Dilepas tahun 1992; umur 9-10 bulan; bentuk daun menjari agak gemuk; warna pucuk daun hijau keunguan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau kekuning-kuningan dengan bercak merah ungu dibagian pangkal; warna batang muda hijau muda; warna batang tua hijau keabuabuan; warna kulit umbi putih kecoklatan bagian luar dan bagian dalam; warna daging umbi putih kekuningan; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 mg/kg (metode asam pikrat); hasil rata-rata 36,5 t/ha umbi basah (24,3-48,7 t/ha); toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.). • Malang-2 Dilepas tahun 1992; umur 8-10 bulan; bentuk daun menjari dengan cuping sempit; warna pucuk daun hijau muda kekuningan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau muda kekuningkuningan; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat kemerahan; warna kulit umbi coklat kemerahan bagian luar dan putih kecoklatan bagian dalam; warna daging umbi kuning muda; kualitas rebus baik; rasa enak (manis); kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 mg/kg (metode asam pikrat); hasil rata-rata 31,5 t/ha umbi basah (20-42 t/ha); agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.) dan hawar daun CBB. • Malang-4 Tidak bercabang; agak tahan terhadap hama tungau merah; umur 9 bulan; hasil 39,7 t/ha; warna kulit luar umbi coklat; warna kulit dalam umbi putih; daging umbi putih, rasa pahit (kadar HCN>100 ppm); kadar tepung/pati 25-32%.
• Malang-6
Bercabang tinggi, agak tahan terhadap hama tungau merah (Tetranichus bimaculatus); umur 9 bulan; hasil 36,5 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi kekuning-kuningan; daging umbi putih; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 25-32%.
• UJ-3
Tegak; tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 8-10 bulan; hasil 35-40 t/ha; warna kulit umbi krem keputihan; warna kulit dalam umbi putih kemerahan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar tepung/pati 25-30%.
• UJ-5
Tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 9 bulan; hasil 38 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi keunguan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 19-30%.


TEKNOLOGI BUDIDAYA
A. Penyiapan Bibit
Hasil yang tinggi dapat diperoleh bila tanaman tumbuh optimal dan seragam dengan populasi yang penuh. Kondisi tersebut dapat dicapai bila bibit yang digunakan memenuhi kriteria tujuh tepat, yaitu: waktu, kuantitas, kualitas, harga, tempat, dan kontiniutas. Faktor penghambat penyediaan bibit dengan kriteria tersebut adalah:
a. Varietas unggul ubikayu sulit berkembang karena mahalnya biaya transportasi bibit;
b. Tingkat penggandaan bibit rendah sehingga insentif bagi penangkar juga rendah;
c. Daya tumbuh bibit cepat turun bila penyimpanan lama; dan
d. Sebagian besar petani belum memerlukan bibit berlabel dari penangkar benih.
Untuk mengatasai masalah tersebut diperlukan sistem penangkaran benih secara insitu baik yang dikelola kelompok tani maupun petani secara individu.
Sumber bibit ubikayu berasal dari pembibitan tradisional berupa stek yang diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan dengan kebutuhan bibit untuk sistem budidaya ubikayu monokultur adalah 10.000-15.000 stek/ha (Tim Prima Tani, 2006). Untuk satu batang ubikayu hanya diperoleh 10-20 stek sehingga luas areal pembibitan minimal 20% dari luas areal yang akan ditanami ubikayu. Asal stek, diameter bibit, ukuran stek, dan lama penyimpanan bibit berpengaruh terhadap daya tumbuh dan hasil ubikayu Bibit yang dianjurkan untuk ditanam adalah stek dari batang bagian tengah dengan diameter batang 2-3 cm, panjang 15-20 cm, dan
tanpa penyimpanan.
B. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan berupa pengolahan tanah bertujuan untuk:
• Memperbaiki struktur tanah;
• Menekan pertumbuhan gulma; dan
• Menerapkan system konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi.
Tanah yang baik untuk budidaya ubikayu adalah memiliki struktur gembur atau remah yang dapat dipertahankan sejak fase awal pertumbuhan sampai panen. Kondisi tersebut dapat menjamin sirkulasi O2 dan CO2 di dalam tanah terutama pada lapisan olah sehingga aktivitas jasad renik dan fungsi akar optimal dalam penyerapan hara.

Kondisi Bibit Daya Tumbuh (%) Hasil (%)
Bagian Batang
Tengah
Pangkal
Pucuk 100
95
33 100
88
62
Diameter Stek
< 2 cm 2-3 cm > 3 cm 94
100
95 93
100
90
Panjang Stek
2 mata
3 mata
12 mata (20 cm) 95
96
100 88
98
100
Lama Penyimpanan
0 minggu
4 minggu
8 minggu 100
87
60 -
-
-

Menurut Tim Prima Tani (2006), tanah sebaiknya diolah dengan kedalaman sekitar 25 cm, kemudian dibuat bedengan dengan lebar bedengan dan jarak antar bedengan disesuaikan dengan jarak tanam ubikayu, yaitu 80-130 cm x 60-100 cm. Pada lahan miring atau peka erosi, tanah perlu dikelola dengan sistem konservasi, yaitu: (1) tanpa olah tanah; (2) olah tanah minimal; dan (3) olah tanah sempurna system guludan kontur. Pengolahan minimal (secara larik atau individual) efektif mengendalikan erosi tetapi hasil ubikayu seringkali rendah dan biaya pengendalian gulma relatif tinggi. Dalam hal ini tanah dibajak (dengan traktor 3-7 singkal piring atau hewan tradisional) dua kali atau satu kali yang diikuti dengan pembuatan guludan (ridging). Untuk lahan peka erosi, guludan juga berperan sebagai pengendali erosi sehingga guludan dibuat searah kontur

Tabel Pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap hasil umbi segar dan tanahtererosi.
Perlakuan Hasil Umbi Segar t/ha) TanahTererosi(t/ha/thn)
Olah tanah minimal 15,0 7,6
Cangkul 1 kali 14,3 10,3
Bajak traktor 7 disc 2 kali 19,0 66,8
Bajak traktor 7 disc 1 kali + guludan kontur 25,4 30,8

C. Penanaman
Stek ditanam di guludan dengan jarak antar barisan tanaman 80-130 cm dan dalam barisan tanaman 60-100 cm untuk sistem monokultur (Tim Prima Tani, 2006). Sedangkan jarak tanam ubikayu untuk sistem tumpangsari dengan kacang tanah, kedelai, atau kacang hijau adalah 200x100 cm (Hilman, dkk., 2004), dan jarak tanam tanaman sela yang efektif mengendalikan erosi dan produktivitasnya tinggi adalah 40 cm antara barisan dan 10-15 cm dalam barisan. Penanaman stek ubikayu disarankan pada saat tanah dalam kondisi gembur dan lembab atau ketersediaan air pada lapisan olah sekitar 80% dari kapasitas lapang. Tanah dengan kondisi tersebut akan dapat menjamin kelancaran sirkulasi O2 dan CO2 serta meningkatkan aktivitas mikroba tanah sehingga dapat memacu pertumbuhan daun untuk menghasilkan fotosintat secara maksimal dan ditranslokasikan ke dalam umbi secara maksimal pula.
Posisi stek di tanah dan kedalaman tanam dapat mempengaruhi hasil ubikayu. Stek yang ditanam dengan posisi vertikal (tegak) dengan kedalaman sekitar 15 cm memberikan hasil tertinggi baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Penanam stek dengan posisi vertikal juga dapat memacu pertumbuhan akar dan menyebar merata di lapisan olah. Stek yang ditanam dengan posisi miring atau horizontal (mendatar), akarnya tidak terdistribusi secara merata seperti stek yang ditanam vertikal pada kedalaman 15 cm dan kepadatannya rendah.

D. Pemupukan
Pemupukan sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan produksi ubikayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hara yang hilang terbawa panen untuk setiap ton umbi segar adalah 6,54 kg N; 2,24 kg P2O5; dan 9,32 K2O/ha/musim, dimana 25% N, 30% P2O5, dan 26% K2O terdapat di dalam umbi (Wichmann, 1992). Berdasarkan perhitungan tersebut, hara yang terbawa panen ubikayu pada tingkat hasil 30 t/ha adalah 147,6 kg N; 47,4 kg P2O5; dan 179,4 kg K2O/ha. Untuk mendapatkan hasil tinggi tanpa menurunkan tingkat kesuburan tanah, hara yang terbawa panen tersebut harus diganti mel alui pemupukan setiap musim. Tanpa pemupukan akan terjadi pengurasan hara sehingga tingkat kesuburan tanah menurun. Pemupukan yang tidak rasional dan tidak berimbang juga dapat merusak kesuburan tanah.
Pemupukan harus dilakukan secara efisien sehingga didapatkan produksi tanaman dan pendapatan yang diharapkan. Umbi ubikayu adalah tempat menyimpan sementara hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan vegetative tanaman. Dengan demikian, pertumbuhan vegetatif yang berlebihan akibat dosis pemupukan yang tinggi dapat menurunkan hasil panen. Efisiensi pemupukan dipengaruhi oleh jenis pupuk, varietas, jenis tanah, pola tanam, dan keberadaan unsure lainnya di dalam tanah.
Untuk pertanaman ubikayu sistem monokultur, disarankan pemberian pupuk anorganik sebanyak 200 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar yang diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7-10 hari diberikan 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha, dan tahap II umur 2-3 bulan diberikan 75 kg Urea dan 50 kg 12 KCl/ha, serta tahap III umur 5 bulan diberikan lagi 75 kg Urea/ha. Pupuk organic (kotoran ternak) dapat digunakan sebanyak 1-2 t/ha pada saat tanam. Sedangkan untuk pertanaman ubikayu sistem tumpangsari, pada tanaman ubikayu diberikan pupuk anorganik sebanyak 100 kg ZA, 150 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar yang diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7 hari diberikan 100 kg ZA, 100 kg
SP36, dan 50 kg KCl/ha, dan tahap II umur 2 bulan diberikan 75 kg Urea, serta tahap III umur 4 bulan diberikan lagi 75 kg Urea dan 50 kg KCl/ha. Untuk tanaman kacangankacangan, diberikan pupuk pada saat tanam sebanyak 100 kg ZA, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha (pada daerah beriklim kering) atau 300 kg kapur tohor, 50 kg Urea, 100 kg SP36, 100 kg KCl/ha (pada daerah beriklim basah dan masam).

E. Pemeliharaan Tanaman
Kelemahan ubikayu pada fase pertumbuhan awal adalah tidak mampu berkompetisi dengan gulma. Periode kritis atau periode tanaman harus bebas gangguan gulma adalah antara 5-10 minggu setelah tanam. Bila pengendalian gulma tidak dilakukan selama periode kritis tersebut, produktivitas dapat turun sampai 75% dibandingkan kondisi bebas gulma. Untuk itu, penyiangan diperlukan hingga tanaman bebas dari gulma sampai berumur sekitar 3 bulan (Tim Prima Tani, 2006). Menurut Wargiono, dkk. (2006), pada bulan ke-4 kanopi ubikayu mulai menutup permukaan tanah sehingga pertumbuhan gulma mulai tertekan karena kecilnya penetrasi sinar matahari di antara ubikayu. Oleh karena itu, kondisi bebas gulma atau penyiangan pada bulan ke-4 tidak diperlukan karena tidak lagi mempengaruhi hasil (Tabel 6). Pada saat penyiangan, juga dilakukan pembumbunan, yaitu umur 2-3 bulan.

Tabel Pengaruh waktu bebas gulma terhadap hasil ubikayu.
Jumlah bulan bebas gulma
Hasil (t/ha)
Awal MH Akhir MH
0 bulan (kontrol) 5,83 9,56
2 bulan 24,34 20,98
3 bulan 24,28 22,61
4 bulan 22,59 21,25
Petani 20,23 19,89


Pemeliharaan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah pembatasan tunas. Pada saat tanaman berumur 1 bulan dilakukan pemilihan tunas terbaik, tunas yang jelek dibuang sehingga tersisa dua tunas yang paling baik. Sementara itu, pengendalian hama dan penyakit tidak perlu dilakukan karena sampai saat ini tanaman ubikayu tidak memerlukan pengendalian hama dan penyakit. Bila di lapangan diperlukan pengendalian hama penyakit, maka tindakan yang dilakukan sbb.:
• Tungau/kutu merah (Tetranychus bimaculatus) dikendalikan secara mekanik dengan memetik daun sakit pada pagi hari dan kemudian dibakar. Pengendalian secara kimiawi menggunakan akarisida.
• Kutu sisik hitam (Parasaissetia nigra) dan kutu sisik putih (Anoidomytilus albus) dikendalikan secara mekanis dengan mencabut dan membatasi tanaman sakit menggunakan bibit sehat. Pengendalian secara kimiawi menggunakan perlakuan stek insektisida sepeeti tiodicarb dan oxydemeton methil.
• Penyakit bakteri B. manihotis dan X. manihotis menyerang daun muda dan P. solanacearum menyerang bagian akar tanaman sehingga tanaman layu dan mati. Pengendalian dapat dilakukan menggunakan varietas tahan/agak tahan.
• Penyakit lain adalah cendawan karat daun (Cercospora sp.), perusak batang (Glomerell sp.), dan perusak umbi (Fusarium sp.). Pengendalian dianjurkan menggunakan larutan belerang 5%.
• Penyakit virus mosaik (daun mengerting) belum ada rekomendasi pengendaliannya.
F. Panen
Waktu panen yang paling baik adalah pada saat kadar karbohidrat mencapai tingkat maksimal. Bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur panen, sedangkan kadar pati cenderung stabil pada umur 7-9 bulan. Hal ini menunjukan bahwa umur panen ubikayu fleksibel. Tim Prima Tani (2006) menganjurkan panen pada saat tanaman berumur 8-10 bulan dan dapat ditunda hingga berumur 12 bulan. Fleksibelitas umur panen tersebut memberi peluang petani melakukan pemanenan pada saat harga jual tinggi. Dalam kurun waktu 5 bulan tersebut (panen 8-12 bulan) dapat dilakukan pemanenan bila harga jual ubikayu naik karena tidak mungkin melakukan penyimpanan ubikayu di gudang penyimpanan seperti halnya tanaman pangan lainnya. Selain itu, pembeli biasanya akan membeli ubikayu dalam bentuk segar yang umurnya tidak lebih dari 2x24 jam dari saat panen.
















TUGAS INDIVIDU
BTKU


UBI KAYU








ANDI ARIE WIJA KUSUMA
G111 08 004



JURUSAN ILMU BUDIDAYA TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar