Senin, 06 Juni 2011

teknik dan teknologi budidaya ubi kayu

TEKNOLOGI PRODUKSI UBI KAYU
Ubikayu umumnya ditanam di lahan kering yang sebagian besar kurang subur. Produktivitas di tingkat petani saat ini masih sekitar 12 t/ha umbi segar, padahal dengan teknologi budidaya yang tepat, varietas unggul baru ubikayu dapat menghasilkan lebih dari 35 t/ha umbi segar. Ubikayu biasa ditanam secara monokultur maupun tumpangsari dengan kacang-kacangan. Sebagian besar budidaya ditujukan untuk bahan baku industri tepung dan pakan, sehingga varietas yang ditanam dipilih yang mempunyai kadar pati tinggi. Untuk keperluan konsumsi langsung bisa dipilih varietas yang memiliki tekstur danrasa enak.
BUDIDAYA MONOKULTUR
1. Penggunaan bibit unggul.
• Stek untuk bibit sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan
• Kebutuhan bibit 10.000–15.000 stek per hektar.
2. Pengolahan tanah
• Tanah diolah sedalam sekitar 25 cm
• dibuat guludan/bedengan dengan jarak 80–130 cm
3. Penanaman.
Stek ditanam di guludan (jarak antarbaris 80–130 cm) dan jarak di dalam barisan 60–100 cm.
4. Pemupukan
• Umur 7–10 hari dipupuk 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan50 kg KCl per hektar.
• Umur 2–3 bulan dipupuk 75 kg Urea dan 50 kg/ha KCl.
• Umur 5 bulan ditambahkan 75 kg/ha Urea.
5. Penyiangan, dilakukan seperlunya sehingga tanaman bebas gulma hingga umur 3 bulan.
6. Pembumbunan pada umur 2–3 bulan setelah tanam.
7. Pembatasan tunas dilakukan pada umur 1 bulan, dengan menyisakan 2 tunas yang paling baik.
8. Panen dapat dilakukan mulai umur 8–10 bulan, namun dapat ditunda hingga umur 12 bulan.

BUDIDAYA TUMPANGSARI
1. Penggunaan bibit unggul
• Stek untuk bibit sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan
2. Pengolahan tanah
• Tanah diolah sedalam sekitar 25 cm
• Guludan dibuat setelah panen tanaman sela (pembubunan)
3. Jarak tanam
• Jarak tanam ubikayu (50; 200) cm x 100 cm. 50 cm dan 200 cm adalah jarak antarbaris tanaman dan 100 cm adalah jarak antartanaman.
• Di antara baris tanaman yang berjarak 200 cm ditanami kedelai, kacang tanah atau kacang hijau.
4. Pemupukan untuk ubikayu
• Untuk daerah beriklim kering, pada saat ubikayu berumur 7–10 hari dipupuk dengan 100 kg ZA + 100 kg SP36 + 50 kg KCl/ha. Sedangkan untuk daerah beriklim basah dan masam, pupuk yang diberikan adalah 300 kg kapur, 50 kg Urea + 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha.
• Umur 60 hari, dipupuk 75 kg Urea/ha.
• Umur120 hari dipupuk 75 kg Urea dan 50 kg KCl/ha.
5. Pemupukan untuk tanaman sela
Untuk daerah beriklim kering, tanaman kacang-kacangan dipupuk: 50 kg ZA, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Untuk daerah beriklim basah dan masam, pupuk yang diberikan adalah 300 kg kapur, 50 kg Urea, 100 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Pupuk diberikan pada saat tanam.
6. Penyiangan menyesuaikan dengan kebutuhan, baik untuk tanaman ubikayu maupun untuk tanaman kacang-kacangan.
7. Pembatasan tunas ubikayu dilakukan pada umur 1 bulan, dengan menyisakan 2 tunas yang paling baik.
8. Setelah tanaman kacang-kacangan dipanen, sebaiknya ditanami tanaman penutup tanah (kanavalia atau komak).
9. Pengendalian hama atau penyakit hanya ditujukan untuk tanaman kacang-kacangan.
10. Ubikayu dapat dipanen pada umur 8–10 bulan, namun dapat ditunda hingga umur 12 bulan.

UBI KAYU
Pertanian merupakan salah satu sektor sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar dan beragam. Namun, sampai saat ini sector pertanian belum handal dalam mensejahterakan petani, memenuhi kebutuhan sendiri, menghasilkan devisa, dan menarik investasi (Karama, 2004). Menurut Hilman, dkk. (2004), khusus untuk ubikayu, perannya dalam perekonomian nasional terus menurun karena dianggap bukan komoditas prioritas sehingga kurang mendapat dukungan investasi baik dari sisi penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pengadaan sarana dan prasarana, serta dalam pengaturan dan pelayanan. Akibatnya luas areal panen terus berkurang dan produktivitas tidak meningkat secara nyata.
Salah satunya penyebabnya adalah belum tepatnya teknologi untuk meningkatkan pendapatan petani ubikayu. Hal ini dikarenakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia belum dimanfaatkan secara maksimal dalam pengelolaan usahatani ubi kayu baik di lahan kering maupun lahan sawah, sehingga produktivitas hasil pertanian masih sangat beragam. Selain itu juga disebabkan oleh kemampuan masyarakat yang masih beragam dalam menyesuaikan pola yang sudah dimiliki dengan sumberdaya lahan yang tersedia (Dahlan, 1995).
Kondisi di atas juga ditemui di Propinsi Sumatera Barat. Data BPS Sumatera Barat (2007) menunjukkan bahwa meskipun setiap tahun rata-rata produksi tanaman ubikayu cenderung meningkat (12,50-17,06 t/ha. namun lebih rendah dari potensinya yang mencapai 35-40 t/ha (Balitkabi, 2004). Sementara itu, permintaan terhadap komoditas ini cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan, serta meningkatnya volume ekspor ubikayu.
Permintaan akan ubikayu juga akan terus meningkat seiring dengan terus naiknya dan melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM) di pasar dunia. Bagi Indonesia, kenaikan harga BBM akan menguras lebih banyak devisa karena sebagian besar kebutuhan BBM nasional dipenuhi oleh impor sehingga pemerintah telah mencanangkan program pemanfaatan sumber energi alternatif yang tertuang dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 5 tahun 2006 tentang konsumsi energi biofuel lebih dari 5% pada tahun 2025, dan INPRES No. 1 tahun 2006 kepada Menteri Pertanian tentang percepatan penyediaan bahan baku biofuel. Salah satu alternative yaitu:
(1) biodiesel untuk mensubstitusi solar yang berasal dari minyak kelapa sawit dan minyak jarak pagar;
(2) bioethanol untuk mensubsitusi premium yang berasal dari ubikayu, sorgum, dan tebu. Berbagai penelitian menunjukkan bioethanol dapat digunakan untuk bahan campuran premium hingga kandungan 20% dengan kadar oktan 10% lebih tinggi dibandingkan dengan premium murni dan tidak mempengaruhi kinerja mesin kenderaan (Puslitbangtan, 2007).
Tugas DEPTAN adalah mendorong penyediaan bahan baku termasuk memfasilitasi penyediaan bibit dan mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan pascapanen tanaman bahan baku biofuel.

STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI
Menurut Wargiono (2007), untuk meningkatkan produksi ubikayu diperlukan strategi dengan paling tidak dua pendekatan, yaitu: (1) Penambahan Areal Panen; dan (2) Perbaikan Mutu Intensifikasi. Untuk mencapai tingkat produktivitas yang menguntungkan, mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan lebih efektif.
1. Penambahan Areal Panen (PAP) Peningkatan produksi dengan pendekatan PAP dapat dilakukan melalui:
• pembukaan lahan baru;
• tumpang sari; dan
• peningkatan indeks panen.
a. Pembukaan Lahan Baru. Untuk lahan baru, dapat memanfaatkan lahan tidur yang luasnya cukup besar di Propinsi Sumatera Barat.
b. Tumpang Sari. Tumpang sari bertujuan untuk meningkatkan areal tanam dengan cara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, dan aneka kacang-kacangan serta dengan tanaman hutan industri dan perkebunan yang diremajakan. Kelebihan tumpang sari adalah: (1) efektif mengendalikan erosi; (2) meningkatkan efisiensi penggunaan lahan; (3) meningkatkan pendapatan bersih/tahun dan terdistribusi secara merata; (4) meningkatkan efisiensi penggunaan hara; dan (5) memperbaiki fisik dan kimia tanah. Sedangkan kekurangannya adalah: (1) terjadinya kompetisi pengambilan hara dan cahaya matahari antar tanaman; dan (2) curahan tenaga kerja yang lebih banyak. Pada lahan peka erosi dianjurkan menggunakan pola tumpang sari ubikayu dengan padi gogo dan aneka kacang-kacangan.
c. Peningkatan Indeks Panen. Peningkatan indeks panen dapat dilakukan yaitu penanaman ubikayu setelah padi, jagung, dan aneka kacang-kacangan monokultur di lahan kering dan setelah padi sawah pada lahan sawah tadah hujan.
2. Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI)
Upaya peningkatan produksi dengan pendekatan PMI diarahkan pada peningkatan produktivitas berdasarkan indikator tingkat hasil ubikayu belum menembus batas potensi genetiknya. Komponen teknologi yang perlu penanganan serius sejak awalnya adalah varietas yang sesuai dan bibit yang tersedia secara tujuh tepat (waktu, kuantitas, kualitas, harga, tempat, dan kontiniutas). Untuk mencapai sasaran tersebut dapat dilakukan penangkaran bibit dari varietas terpilih, misalnya: Bibit Penjenis (BS) diperbanyak di Balai Benih atau kebun Percobaan yang diawasi oleh pemulia dan staf BPSB, Bibit Dasar (FS) dari penangkar BS akan diperbanyak penangkar lokal yang akan menghasilkan Bibit Pokok (SS) yang siap dikembangkan petani. Agar hasil ubikayu dapat ditingkatkan, perlu perakitan teknologi budidaya sesuai dengan spesifik daerah, meliputi antara lain: varietas, kualitas bibit, cara tanam, populasi tanaman, pemupukan, umur panen, dll).
Sementara itu, menurut Hilman, dkk (2004), agar ubikayu menjadi sumber pendapatan petani diperlukan dua pendekatan, yaitu: (1) Mempertahankan status quo produksi yang dimplementasikan ke dalam sistem tumpang sari dengan penerapan teknik budidaya intensif, menghemat penggunaan lahan dan sisa lahan untuk budidaya tanaman yang bernilai ekonomi tinggi; dan (2) Mengganti ubikayu dengan komoditas lain yang bernilai ekonomi, yang dimplementasikan ke dalam alih usahatani ubikayu ke lahan marjinal.
Mengacu kepada PERPRES No. 5 tahun 2006, peningkatan produksi ubikayu sebagai bahan baku bioethanol dapat diupayakan melalui beberapa pendekatan, yaitu:
a. pengembangan sistem produksi ramah lingkungan;
b. Peningkatan kemitraan antara swasta dan pemerintah
c. Pemberdayaan masyarakat; dan
d. Pengembangan teknologi hasil penelitian (Puslitbangtan, 2007). Dalam operasionalnya, upaya peningkatan produksi ubikayu dapat ditempuh melalui program intensifikasi oleh petani dan program ekstensifikasi dalam bentuk ”kebun energi” oleh pihak swasta atau industry bioethanol. Gubernur dan Bupati sangat berkepentingan dalam mengimplementasika INPRES No. 1 tahun 2006 dengan memfasilitasi penyediaan lahan bagi pengembangan ubikayu.

SYARAT TUMBUH
Untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen (Wargiono, dkk., 2006). Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan tanaman tiap fase pertumbuhan. Pada umumnya daerah sentra produksi ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E (Wargiono, dkk., 1996), serta jenis lahan yang didominasi oleh tanah alkalin dan tanah masam, kurang subur, dan peka terhadap erosi.

VARIETAS UNGGUL
Gunakan varietas unggul yang mempunyai potensi hasil tinggi, disukai konsumen, dan sesuai untuk daerah penanaman. Sebaiknya varietas unggul yang dibudidayakan memiliki sifat toleran kekeringan, toleran lahan pH rendah dan/atau tinggi, toleran keracunan Al, dan efektif memanfaatkan hara P yang terikat oleh Al dan Ca, seperti: varietas Adira-4, Malang-6, UJ3, dan UJ5.
Jika produksi ubikayu ubikayu ditujukan untuk bahan baku industri tapioka atau tepung/serbuk ubikayu atau dikonsumsi langsung dalam bentuk ubikayu goreng atau rebus, disarankan menggunakan varietas unggul yang dilepas tahun 1978 yang memiliki rasa enak dan kualitas rebus yang baik, seperti: Adira-1, Malang-1, dan Darul Hidayah. Sisanya, termasuk Adira-4 yang dilepas tahun 1987 dan sampai sekarang masih cukup luas ditanam petani namun memiliki rasa pahit. Selain itu, yang dilepas terakhir yaitu: Malang-4 dan Malang-6. Juga varietas UJ-3 dan UJ-5 yang dilepas kemudian. Jika produksi ubikayu ditujukan untuk bahan baku bioethanol, harus memenuhi kriteria, yaitu:
a. berkadar pati tinggi;
b. Potensi hasil tinggi;
c. Tahan cekaman biotic dan abiotik; dan
d. Fleksibel dalam usahatani dan umur panen.
Dari 16 varietas unggul ubikayu yang telah dilepas Departemen Pertanian hingga saat ini, Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 memiliki karakter yang sesuai dengan kriteria tersebut. Sifat penting dari keempat varietas ini adalah:
a. Daun tidak cepat gugur;
b. Adaptif pada tanah ber-pH tinggi dan rendah
c. Adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma; dan
d. Dapat dikembangkan pada pola tumpang sari (Wargiono, dkk., 2006).
Karakteristik beberapa varietas unggul ubikayu.
• Adira-1
Dilepas tahun 1978; umur 7-10 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong; warna pucuk daun coklat; warna tangkai daun merah bagian atas dan merah muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat; warna kulit umbi coklat bagian luar dan kuning bagian dalam; warna daging umbi kuning; kualitas rebus baik; rasa enak; kadar tepung/pati 45%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN 27,5 mg; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight, CBB), layu Pseudomonas solanacearum, Xanthomonas manihotis
• Adira-2
Dilepas tahun 1978; umur 8-12 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong dan gemuk; warna pucuk daun ungu; warna tangkai daun merah muda bagian atas dan hijau muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua putih coklat; warna kulit umbi putih coklat bagian luar dan ungu muda bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 41%; kadar protein 0,7% (basah); kadar HCN 124 mg/kg; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum)
• Darul Hidayah
Dilepas tahun 1998; Umur 8-12 bulan; Bentuk daun Menjari agak ramping; Warna daun pucuk Hijau agak kekuningan; Warna tungkai daun tua Merah; Warna batang muda Hijau; Warna batang tua Putih; Kulit ari batang Tipis mudah mengelupas (tidak tahan disimpan lama); Warna kulit umbi Bagian luar putih kecoklatan, bagian dalam merah jambu; Warna daging umbi Putih; Tekstur daging umbi Padat; Bentuk umbi Memanjang; Kualitas rebus Baik; Rasa Kenyal seperti ketan; Kadar pati 25,00– 31,52%; Kadar HCN Rendah (<40); Potensi hasil 102,10 t /ha umbi segar; Hama penyakit Agak peka terhadap serangan hama tungau merah (tetranichus sp) dan penyakit busuk jamur. • Adira-4 Dilepas tahun 1987; umur 8 bulan; bentuk daun biasa agak lonjong; warna pucuk daun hijau; warna tangkai daun merah kehijauan (muda hijau kemerahan) bagian atas dan hijau kemerahan (hijau muda) bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua abu-abu; warna kulit umbi coklat bagian luar dan ros bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus bagus tetapi agak pahit; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 25-30%; kadar protein 0,8% (basah); kadar HCN 68 mg/100 g; hasil 25-40 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri hawar daun CBB, layu Pseudomonas solanacearum, Xanthomonas manihotis. • Malang-1 Dilepas tahun 1992; umur 9-10 bulan; bentuk daun menjari agak gemuk; warna pucuk daun hijau keunguan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau kekuning-kuningan dengan bercak merah ungu dibagian pangkal; warna batang muda hijau muda; warna batang tua hijau keabuabuan; warna kulit umbi putih kecoklatan bagian luar dan bagian dalam; warna daging umbi putih kekuningan; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 mg/kg (metode asam pikrat); hasil rata-rata 36,5 t/ha umbi basah (24,3-48,7 t/ha); toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.). • Malang-2 Dilepas tahun 1992; umur 8-10 bulan; bentuk daun menjari dengan cuping sempit; warna pucuk daun hijau muda kekuningan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau muda kekuningkuningan; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat kemerahan; warna kulit umbi coklat kemerahan bagian luar dan putih kecoklatan bagian dalam; warna daging umbi kuning muda; kualitas rebus baik; rasa enak (manis); kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 mg/kg (metode asam pikrat); hasil rata-rata 31,5 t/ha umbi basah (20-42 t/ha); agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.) dan hawar daun CBB. • Malang-4 Tidak bercabang; agak tahan terhadap hama tungau merah; umur 9 bulan; hasil 39,7 t/ha; warna kulit luar umbi coklat; warna kulit dalam umbi putih; daging umbi putih, rasa pahit (kadar HCN>100 ppm); kadar tepung/pati 25-32%.
• Malang-6
Bercabang tinggi, agak tahan terhadap hama tungau merah (Tetranichus bimaculatus); umur 9 bulan; hasil 36,5 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi kekuning-kuningan; daging umbi putih; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 25-32%.
• UJ-3
Tegak; tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 8-10 bulan; hasil 35-40 t/ha; warna kulit umbi krem keputihan; warna kulit dalam umbi putih kemerahan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar tepung/pati 25-30%.
• UJ-5
Tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 9 bulan; hasil 38 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi keunguan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 19-30%.


TEKNOLOGI BUDIDAYA
A. Penyiapan Bibit
Hasil yang tinggi dapat diperoleh bila tanaman tumbuh optimal dan seragam dengan populasi yang penuh. Kondisi tersebut dapat dicapai bila bibit yang digunakan memenuhi kriteria tujuh tepat, yaitu: waktu, kuantitas, kualitas, harga, tempat, dan kontiniutas. Faktor penghambat penyediaan bibit dengan kriteria tersebut adalah:
a. Varietas unggul ubikayu sulit berkembang karena mahalnya biaya transportasi bibit;
b. Tingkat penggandaan bibit rendah sehingga insentif bagi penangkar juga rendah;
c. Daya tumbuh bibit cepat turun bila penyimpanan lama; dan
d. Sebagian besar petani belum memerlukan bibit berlabel dari penangkar benih.
Untuk mengatasai masalah tersebut diperlukan sistem penangkaran benih secara insitu baik yang dikelola kelompok tani maupun petani secara individu.
Sumber bibit ubikayu berasal dari pembibitan tradisional berupa stek yang diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan dengan kebutuhan bibit untuk sistem budidaya ubikayu monokultur adalah 10.000-15.000 stek/ha (Tim Prima Tani, 2006). Untuk satu batang ubikayu hanya diperoleh 10-20 stek sehingga luas areal pembibitan minimal 20% dari luas areal yang akan ditanami ubikayu. Asal stek, diameter bibit, ukuran stek, dan lama penyimpanan bibit berpengaruh terhadap daya tumbuh dan hasil ubikayu Bibit yang dianjurkan untuk ditanam adalah stek dari batang bagian tengah dengan diameter batang 2-3 cm, panjang 15-20 cm, dan
tanpa penyimpanan.
B. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan berupa pengolahan tanah bertujuan untuk:
• Memperbaiki struktur tanah;
• Menekan pertumbuhan gulma; dan
• Menerapkan system konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi.
Tanah yang baik untuk budidaya ubikayu adalah memiliki struktur gembur atau remah yang dapat dipertahankan sejak fase awal pertumbuhan sampai panen. Kondisi tersebut dapat menjamin sirkulasi O2 dan CO2 di dalam tanah terutama pada lapisan olah sehingga aktivitas jasad renik dan fungsi akar optimal dalam penyerapan hara.

Kondisi Bibit Daya Tumbuh (%) Hasil (%)
Bagian Batang
Tengah
Pangkal
Pucuk 100
95
33 100
88
62
Diameter Stek
< 2 cm 2-3 cm > 3 cm 94
100
95 93
100
90
Panjang Stek
2 mata
3 mata
12 mata (20 cm) 95
96
100 88
98
100
Lama Penyimpanan
0 minggu
4 minggu
8 minggu 100
87
60 -
-
-

Menurut Tim Prima Tani (2006), tanah sebaiknya diolah dengan kedalaman sekitar 25 cm, kemudian dibuat bedengan dengan lebar bedengan dan jarak antar bedengan disesuaikan dengan jarak tanam ubikayu, yaitu 80-130 cm x 60-100 cm. Pada lahan miring atau peka erosi, tanah perlu dikelola dengan sistem konservasi, yaitu: (1) tanpa olah tanah; (2) olah tanah minimal; dan (3) olah tanah sempurna system guludan kontur. Pengolahan minimal (secara larik atau individual) efektif mengendalikan erosi tetapi hasil ubikayu seringkali rendah dan biaya pengendalian gulma relatif tinggi. Dalam hal ini tanah dibajak (dengan traktor 3-7 singkal piring atau hewan tradisional) dua kali atau satu kali yang diikuti dengan pembuatan guludan (ridging). Untuk lahan peka erosi, guludan juga berperan sebagai pengendali erosi sehingga guludan dibuat searah kontur

Tabel Pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap hasil umbi segar dan tanahtererosi.
Perlakuan Hasil Umbi Segar t/ha) TanahTererosi(t/ha/thn)
Olah tanah minimal 15,0 7,6
Cangkul 1 kali 14,3 10,3
Bajak traktor 7 disc 2 kali 19,0 66,8
Bajak traktor 7 disc 1 kali + guludan kontur 25,4 30,8

C. Penanaman
Stek ditanam di guludan dengan jarak antar barisan tanaman 80-130 cm dan dalam barisan tanaman 60-100 cm untuk sistem monokultur (Tim Prima Tani, 2006). Sedangkan jarak tanam ubikayu untuk sistem tumpangsari dengan kacang tanah, kedelai, atau kacang hijau adalah 200x100 cm (Hilman, dkk., 2004), dan jarak tanam tanaman sela yang efektif mengendalikan erosi dan produktivitasnya tinggi adalah 40 cm antara barisan dan 10-15 cm dalam barisan. Penanaman stek ubikayu disarankan pada saat tanah dalam kondisi gembur dan lembab atau ketersediaan air pada lapisan olah sekitar 80% dari kapasitas lapang. Tanah dengan kondisi tersebut akan dapat menjamin kelancaran sirkulasi O2 dan CO2 serta meningkatkan aktivitas mikroba tanah sehingga dapat memacu pertumbuhan daun untuk menghasilkan fotosintat secara maksimal dan ditranslokasikan ke dalam umbi secara maksimal pula.
Posisi stek di tanah dan kedalaman tanam dapat mempengaruhi hasil ubikayu. Stek yang ditanam dengan posisi vertikal (tegak) dengan kedalaman sekitar 15 cm memberikan hasil tertinggi baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Penanam stek dengan posisi vertikal juga dapat memacu pertumbuhan akar dan menyebar merata di lapisan olah. Stek yang ditanam dengan posisi miring atau horizontal (mendatar), akarnya tidak terdistribusi secara merata seperti stek yang ditanam vertikal pada kedalaman 15 cm dan kepadatannya rendah.

D. Pemupukan
Pemupukan sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan produksi ubikayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hara yang hilang terbawa panen untuk setiap ton umbi segar adalah 6,54 kg N; 2,24 kg P2O5; dan 9,32 K2O/ha/musim, dimana 25% N, 30% P2O5, dan 26% K2O terdapat di dalam umbi (Wichmann, 1992). Berdasarkan perhitungan tersebut, hara yang terbawa panen ubikayu pada tingkat hasil 30 t/ha adalah 147,6 kg N; 47,4 kg P2O5; dan 179,4 kg K2O/ha. Untuk mendapatkan hasil tinggi tanpa menurunkan tingkat kesuburan tanah, hara yang terbawa panen tersebut harus diganti mel alui pemupukan setiap musim. Tanpa pemupukan akan terjadi pengurasan hara sehingga tingkat kesuburan tanah menurun. Pemupukan yang tidak rasional dan tidak berimbang juga dapat merusak kesuburan tanah.
Pemupukan harus dilakukan secara efisien sehingga didapatkan produksi tanaman dan pendapatan yang diharapkan. Umbi ubikayu adalah tempat menyimpan sementara hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pertumbuhan vegetative tanaman. Dengan demikian, pertumbuhan vegetatif yang berlebihan akibat dosis pemupukan yang tinggi dapat menurunkan hasil panen. Efisiensi pemupukan dipengaruhi oleh jenis pupuk, varietas, jenis tanah, pola tanam, dan keberadaan unsure lainnya di dalam tanah.
Untuk pertanaman ubikayu sistem monokultur, disarankan pemberian pupuk anorganik sebanyak 200 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar yang diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7-10 hari diberikan 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha, dan tahap II umur 2-3 bulan diberikan 75 kg Urea dan 50 kg 12 KCl/ha, serta tahap III umur 5 bulan diberikan lagi 75 kg Urea/ha. Pupuk organic (kotoran ternak) dapat digunakan sebanyak 1-2 t/ha pada saat tanam. Sedangkan untuk pertanaman ubikayu sistem tumpangsari, pada tanaman ubikayu diberikan pupuk anorganik sebanyak 100 kg ZA, 150 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar yang diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7 hari diberikan 100 kg ZA, 100 kg
SP36, dan 50 kg KCl/ha, dan tahap II umur 2 bulan diberikan 75 kg Urea, serta tahap III umur 4 bulan diberikan lagi 75 kg Urea dan 50 kg KCl/ha. Untuk tanaman kacangankacangan, diberikan pupuk pada saat tanam sebanyak 100 kg ZA, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha (pada daerah beriklim kering) atau 300 kg kapur tohor, 50 kg Urea, 100 kg SP36, 100 kg KCl/ha (pada daerah beriklim basah dan masam).

E. Pemeliharaan Tanaman
Kelemahan ubikayu pada fase pertumbuhan awal adalah tidak mampu berkompetisi dengan gulma. Periode kritis atau periode tanaman harus bebas gangguan gulma adalah antara 5-10 minggu setelah tanam. Bila pengendalian gulma tidak dilakukan selama periode kritis tersebut, produktivitas dapat turun sampai 75% dibandingkan kondisi bebas gulma. Untuk itu, penyiangan diperlukan hingga tanaman bebas dari gulma sampai berumur sekitar 3 bulan (Tim Prima Tani, 2006). Menurut Wargiono, dkk. (2006), pada bulan ke-4 kanopi ubikayu mulai menutup permukaan tanah sehingga pertumbuhan gulma mulai tertekan karena kecilnya penetrasi sinar matahari di antara ubikayu. Oleh karena itu, kondisi bebas gulma atau penyiangan pada bulan ke-4 tidak diperlukan karena tidak lagi mempengaruhi hasil (Tabel 6). Pada saat penyiangan, juga dilakukan pembumbunan, yaitu umur 2-3 bulan.

Tabel Pengaruh waktu bebas gulma terhadap hasil ubikayu.
Jumlah bulan bebas gulma
Hasil (t/ha)
Awal MH Akhir MH
0 bulan (kontrol) 5,83 9,56
2 bulan 24,34 20,98
3 bulan 24,28 22,61
4 bulan 22,59 21,25
Petani 20,23 19,89


Pemeliharaan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah pembatasan tunas. Pada saat tanaman berumur 1 bulan dilakukan pemilihan tunas terbaik, tunas yang jelek dibuang sehingga tersisa dua tunas yang paling baik. Sementara itu, pengendalian hama dan penyakit tidak perlu dilakukan karena sampai saat ini tanaman ubikayu tidak memerlukan pengendalian hama dan penyakit. Bila di lapangan diperlukan pengendalian hama penyakit, maka tindakan yang dilakukan sbb.:
• Tungau/kutu merah (Tetranychus bimaculatus) dikendalikan secara mekanik dengan memetik daun sakit pada pagi hari dan kemudian dibakar. Pengendalian secara kimiawi menggunakan akarisida.
• Kutu sisik hitam (Parasaissetia nigra) dan kutu sisik putih (Anoidomytilus albus) dikendalikan secara mekanis dengan mencabut dan membatasi tanaman sakit menggunakan bibit sehat. Pengendalian secara kimiawi menggunakan perlakuan stek insektisida sepeeti tiodicarb dan oxydemeton methil.
• Penyakit bakteri B. manihotis dan X. manihotis menyerang daun muda dan P. solanacearum menyerang bagian akar tanaman sehingga tanaman layu dan mati. Pengendalian dapat dilakukan menggunakan varietas tahan/agak tahan.
• Penyakit lain adalah cendawan karat daun (Cercospora sp.), perusak batang (Glomerell sp.), dan perusak umbi (Fusarium sp.). Pengendalian dianjurkan menggunakan larutan belerang 5%.
• Penyakit virus mosaik (daun mengerting) belum ada rekomendasi pengendaliannya.
F. Panen
Waktu panen yang paling baik adalah pada saat kadar karbohidrat mencapai tingkat maksimal. Bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur panen, sedangkan kadar pati cenderung stabil pada umur 7-9 bulan. Hal ini menunjukan bahwa umur panen ubikayu fleksibel. Tim Prima Tani (2006) menganjurkan panen pada saat tanaman berumur 8-10 bulan dan dapat ditunda hingga berumur 12 bulan. Fleksibelitas umur panen tersebut memberi peluang petani melakukan pemanenan pada saat harga jual tinggi. Dalam kurun waktu 5 bulan tersebut (panen 8-12 bulan) dapat dilakukan pemanenan bila harga jual ubikayu naik karena tidak mungkin melakukan penyimpanan ubikayu di gudang penyimpanan seperti halnya tanaman pangan lainnya. Selain itu, pembeli biasanya akan membeli ubikayu dalam bentuk segar yang umurnya tidak lebih dari 2x24 jam dari saat panen.
















TUGAS INDIVIDU
BTKU


UBI KAYU








ANDI ARIE WIJA KUSUMA
G111 08 004



JURUSAN ILMU BUDIDAYA TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

pembangunan berkelanjutan teradap penrtanian berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan lingkungan selalu memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan/ternak, makanan, pendapatan dan kesehatan. Sedang tujuan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah; meningkatkan dan mempertahankan basil pada aras yang optimal; mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem; dan yang lebih penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan makhluk hidup lainnya. Sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, antara lain:
• Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan/mulai dari kehidupan manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai apabila tanah terkelola dengan baik, kesehatan tanah dan tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara, biomassa dan energi, dan menghindarkan terjadinya polusi. Menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan.
• Menguntungkan secara ekonomi, berarti petani dapat menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri/ pendapatan, dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan.
• Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama berpartisipasi dalam menentukan kebijkan, baik di lapangan maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
• Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) prinsip dasar semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan dan dilestarikan.
• Dapat dengan mudah diadaptasi, berarti masyarakat pedesaan/petani mampu dalam menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani: pertambahan penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga inovasi sosial dan budaya.
Suatu konsensus telah dikembangkan untuk mengantisipasi pertanian berkelanjutan. Sistem produksi yang dikembangkan berasaskan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang kalau diterjemahkan sebagai (Pertanian Berkelanjutan/Lestari, Masukan Dari Luar Usahatani Rendah). Konsep ini dapat dijabarkan menjadi beberapa rakitan operasional, antara lain: meningkatkan produktivitas, melaksanakan konservasi energi dan sumberdaya alam, mencegah terjadinya erosi dan membatasi kehilangan unsur hara, meningkatkan keuntungan usahatani, memantapkan dan ketenlanjutan konservasi serta sistem produksi pertanian.
Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara berkelanjutan (continous). Sekarang kita sudah mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan sumberdaya adalah terbatas.
Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, menjaga kelestarian sumber air, meningkatkan sumber daya alam serta memperbaiki kualitas lingkungan hidup yang pada gilirannya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui usaha tani yang berkelanjutan. Pola usaha tani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan lahan yang mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik/sipil teknik, vegetatif maupun kimiawi.
Pada dasarnya usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS-DAS kritis (Saragih, 1996), akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih relatif lambat disebabkan antara lain :
1. Besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi.
2. Kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani.
3. Masih lemahnya kemampuan pemahaman petani untuk menerapkan teknologi usahatani kon-servasi sesuai yang diintroduksikan.
4. Keragaman komoditas yang diusahakan di DAS-DAS kritis.
5. Terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi usaha tani konservasi.
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang ini masih belum memadai sehingga perlu dicari teknologi yang lebih sesuai melalui kegiatan :
1. Penelitian komponen-komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usahatani konservasi.
2. Penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat
Tehnik konservasi tanah seperti pembuatan kontur, teras, penanaman dalam strip, penanaman penutup tanah, pemilihan pergiliran tanah yang cocok, penggunaan pupuk yang tepat, dan drainase dalam literatur sering dijabarkan sebagai tehnik yang melindungi atau memperbaiki tanah pertanian secara keseluruhan, akan tetapi perlu ditekankan bahwa tehnik-tehnik tersebut dapat efektif apabila penggunaan lahannya sudah cocok. Tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada tehnik konservasi yang dapat mencegah erosi kalau kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban, 1989).. Dalam tulisan ini dibahas beberapa agroteknologi dapat diterapkan petani di lahan pertaniannya. Beberapa diantaranya merupakan traditional wisdom, atau kearifan lokal yang menjadi sumber pertanian berkelanjutan sekarang ini.
Metode mekanik/sipil teknik, suatu bentuk metode konservasi tanah dengan menggunakan sarana fisik (tanah, batu dan lain-lain ) sebagai sarana bangunan konservasi tanah. Metode ini berfungsi untuk: a). memperlambat aliran permukaan, b). menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Beberapa cara yang diajurkan: (1) pengolahan tanah minimum, (2) pengolahan tanah menurut kontur, (3) pembuatan guludan dan teras, (4) pembuatan terjunan air, (5) pembuatan rorak / saluran buntu.
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsjad, 2000), dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Metode Vegetatif: suatu metode konservasi tanah dengan menggunakan tanaman atau tumbuhan dan seresah untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan erosi. Metode ini berfungsi :
a) Melindungi tanah terhadap daya rusak butir-butir hujan yang jatuh,
b) Melindungi tanah terhadap daya perusahan aliran air,
c) Memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan,
d) Memperbaiki struktur dan kesuburan tanah.
Beberapa cara yang digunakan: sistem pertanaman lorong, strip rumput, tanaman penutup tanah, teras gulud, teras bangku, rorak, embung, mulsa, dan dam parit. Sedangkan metode kimia dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah melalui pemberian bahan kimia tanah (soil Conditioner).
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.
Pertanian Berkelanjutan Suatu Konsep Pemikiran Masa Depan. Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang berlanjut untuk saat ini, saat yang akan datang dan selamanya. Artinya pertanian tetap ada dan bermanfaat bagi semuanya dan tidak menimbulkan bencana bagi semuanya. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Menurut Gips, suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika memiliki sifat-sifat sbb:
• Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri
• Berlanjut secara ekonomis artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang diekploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya
• Adil berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hal yang lain
• Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada
• Luwes yang berarri mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini, dengan demikian pertanian berkelanjutan tidak statis tetapi dinamis bisa mengakomodir keinginan konsumen maupun produsen.
Salah satu alasan mengapa harus dilakukan pertanian berlanjut adalah pengalaman selama ini dimana input tinggi telah menyebabkan degradasi lahan secara nyata. Sebagai contoh penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan resurgensi, resistensi dan munculnya hama penyakit sekunder. Adapun beberapa indikator yang memprihatinkan hasil evaluasi perkembangan kegiatan pertanian hingga saat ini, yaitu : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (6) daya dukung likungan merosot, (7) tingkat pengangguran di pedesaan meningkat, (8) daya tukar petani berkurang, (9) penghasilan dan kesejahteraan keluarga petani menurun, (10) kesenjangan antar kelompok masyarakat meningkat.
Produktivitas tanah dapat ditingkatkan hanya melalui pengolahan tanah dan tanaman secara terpadu. Dengan demikian pemahaman serbacakup (Comprehensive) faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tanah sangat diperlukan petani untuk meningkatkan produktivitas tanah. Usaha untuk memperbaiki produktivitas tanah dengan memperhatikan semua faktor yang berpengaruh dikenal sebagai membangun tanah secara terpadu.
Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap petani yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab intensif-intensif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsjad, 2000). Dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan pelakuan sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan , agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Pada dasarnya usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS DAS kritis (Saragih, 1996). Akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih relatif lambat disebabkan antara. lain : 1. Besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi) 2. Kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani 3. Masih lemahnya kemampuan pernahaman petani untuk menerapkan teknologi usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan. 4. Keragaman komoditas yang diusahakan di DAS DAS kritis 5. Terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi usaha tani konservasi. Hal hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang ini masih belum memadai sehingga perlu dicari teknologi yang lebih sesuai melalui kegiatan : 1. Penelitian komponen komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usa¬ha tatani konservasi 2. Penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat. Tehnik konservasi tanah seperti pembuatan kontur, teras, penanaman dalam strip, tanaman penutup tanah, pemilihan pergiliran tanah yang cocok, penggunaan pupuk yang teratur dan drainase dalam literatur sering dijabarkan sebagai tehnik yang melindungi atau memperbaiki tanah pertanian secara keseluruhan, akan tetapi perlu ditekankan bahwa tehnik tehnik dapat efektif apabila penggunaan lahannya sudah cocok. Tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada tehnik konservasi yang mencegah erosi kalau kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban, 1989. Dalam tulisan ini dibabas beberapa agroteknologi dapat diterapkan petani di lahan pertaniannya. Beberapa diantaranya merupakan traditional wisdom, atau kearifan lokal.
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern. Pengolahan tanah bagaimana yang tepat untuk kelestarian sumberdaya tanah? Arsjad (2000), mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenarnkan sisa tanaman, dan membrantas gulma. Soepardi (1979), mengatakan mengolah tanah adalah untuk menciptak sifat olah yang baik, dan sifat ini mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baiki yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna tauna, apabila pengolahan tanah terIalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berle¬bihan dimana tanah diolah sampai bersih pennukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan surface sealing yaitu butir tanah terdispersi oleh butir hujan , menyumbat pori pori tanah sehingga terbentuk surface crusting. Untuk mengatasi pengaruh buruk peng olahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara yang dimaksud adalah: 1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa sisa tanaman sebelumnva dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida, 2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah 3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanarnan menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Sebagian dari praktek pengolahan tanah seperti ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan telah dilakukan oleh petani di beberapa daerah di Indonesia. Petani mungkin menganggapnya sebagai tradisi nenek moyangnya yang perlu dipertahankan. Walaupun saat itu belum ada penyuluh pertanian ataupun literatur tentang konservasi tanah, tetapi para petani telah menerapkan cara bertani yang berasaskan konservasi tanah. Mengolah tanah secara konservasi telah dilakukan oleh orang jaman dulu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari usahataninya guna memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, dan mungkin belum terpikirkan oleh mereka untuk melestarikan sumber daya tanah.
Tanah Vegetasi sampai sekarang masih dianggap sebagai cara konservasi tanah yang paling jitu dalam mengontrol erosi tanah seperti yang diyakini sejumlah ahli konservasi bahwa “a bag offertilizer is more effective than a bag of cement” (Hudson, 1989). Erosi yang terjadi akan berbeda pada setiap penggunaan tanah, variasi ini tergantung pada pengelolaan tanaman. Contoh sederhana seperti yang dikemukakan Hudson (1957) cit. Hudson (1980), kehilangan tanah dari 2 plot percobaan yang ditanami jagung, plot yang pengelolaannya tanamannya buruk kehilangan tanahnya 15 kali lebih besar dari plot yang pengelolaan tanahnya baik. Secara alamiah, tanaman rumput cenderung melindungi tanah, dan tanaman dalam barisan memberikan perlindungan lebih kecil, tetapi pendapat umum ini berobah oleh pengelolaan. Pengelolaan tanaman akan sangat menentukan besar kecilnya erosi. Penelitian menunjukkan bahwa pertanaman jagung yang dikelola dengan baik akan bertumbuh baik dan dapat menekan laju erosi dibanding padang rumput yang pengelolaannya buruk. Secara singkat dikatakan oleh Hudson bahwa erosi tidak tergantung pada tanaman apa yang tumbuh, tetapi bagaimana tanaman itu tumbuh. Pengaruh tanaman dan pengelolaannya terhadap erosi tidak dapat dievaluasi secara terpisah karena pengaruhnya lebih ditentukan apabila keduanya dikombinasikan. Tanaman yang sama dapat ditanam secara terus menerus atau dapat juga digilir atau tumpang sari dengan tanam an lain. Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan tanaman penutup tanah/pupuk hijau adalah salah satu cara penting dalarn konservasi tanah. Pergiliran tanaman mempengaruhi lamanya pergantian penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Selain berfungsi sebagai pencegahan erosi, pergiliran tanaman memberikan keuntungan keuntungan lain seperti 1. Pemberantasan hama penyakit, menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan si klus hidup hama dan penyakit atau mengurangi sumber makanan dan tempat hidupnya 2. Pemberantasan gulma, penanaman satujenis tanaman tertentu terus menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis jenis gulma tertentu 3. Mempertahankan dan memperbaiki sifat sifiatfisik dan kesuburan tanah, jika sisa tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah dan tanaman tersebut adalah tanaman leguminosa akan menambah kandungan nitrogen tanah, dan akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorpsi unsur dari kedalaman yang berbeda. Ciri alam penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun baban induk. Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan olah tanah. Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan. Sisa sisa panen tanaman dapat ditebar ke permukaan tanah, dicampurkan dekat permukaan tanah, atau dibajak dan dibenamkan dan dapat berfungi sebagai mulsa atau sebagai pupuk or ganik. Efektivitas pengelolaan sisa sisa tanaman ini dalam mengontrol erosi akan tergantung pada banyaknya sisa tanaman yang tersedia. Pemanfaatan sisa sisa panen sebagai sebagai pupuk juga telah dilakukan sebagian petani di beberapa daerah sejak jaman dulu. Sisa sisa panen yang dibiarkan atau ditinggalkan di lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dalam menunjang usaha tani, diantaranya adalah sebagai mulsa yang dapat menghindarkan pengrusakan permukaan tanah oleh energi hujan, mempertahankan kelembaban tanah mengurangi penguapan, sisa panen lambat laun akan terdekomposisi terjadi mineralisasi yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman. Disamping itu asam asam organik yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner. Praktek pertanian dengan berbagai jenis pupuk buatan pabrik semakin intensif digunakan sehingga mulai muncul kekuatiran kehabisan bahan baku pembuat pupuk, mulai mahal dan langkanya ketersediaan pupuk buatan, serta kekuatiran pencemaran tanah dan perairan oleh residu pupuk buatan, membuat sebagian orang kembali tertarik untuk melakukan praktek organic farming yang meminimalkan penggunaan bahan kimia dalam usahatani, dengan menggunakan bahan alami seperti pupuk hijau. Praktek yang dulu telah dilakukan petani walaupun tanpa disadarinya berfungsi untuk konservasi tanah, saat ini dilakukan lagi dengan kesadaran sebagai pelestarian sumber daya alam. Saat ini pemanfaatan sisa sisa panen, pupuk hijau, maupun limbah pengolahan produk pertanian (seperti limbah pabrik gula ) mulai diminati sebagai teknologi dalam usahatani yang ramah lingkungan dan merupakan appropriate inputfor sustainable agriculture (AISA) yaitu suatu sistern pertanian berkelanjutan dengan input yang sesuai agar meningkatkan pendapatan petani dari usahataninya dan menjamin kelestariaii ,sumberdaya alam. Dalam konsep ini lebih ditekankan pada memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Dengan mengaplikasikan sisa sisa. panen ataupun bahan organik lainnya ke lahan pertanian maka akan memecahkan 2 masalah yaitu pengadaan pupuk organik dan masalah tempat pembuangan (berhubungan dengan pencemaran lingkungan). Dari bahasan diatas dapat dikatakan bahwa usaha untuk melestarikan sumberdaya alam sebenamya telah ada sejak dulu walaupun yang melakukannya tidak menyadarinya. Yang perlu dilakukan sekarang oleh adalah memberikan pemahaman bagi masyarakat petani akan manfaat usahatani konservasi.
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.

Sumber :
Browse > Home / Daulat Pangan / Refleksi Pengembangan Kapasitas Petani Melalui Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan
http//www.pertanianberkelanjutan.com
Supardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor Suseno, F.M. 1995. Kuasa dan Moral. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Tarumingkeng, R.C. 1995. Dinamika Perkotaan: Acuan Penelitian Ukrida. Makalah pada Seminar Lokakarya Penyegaran dan Peningkatan Dalam Penelitian. FE UKRIDA
Anonim, 1996. Naskah Akademis Rancangan Undang Undang Konservasi Tanah dan Air. en. Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Dep. Kehutanan Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor. Hudson, N. 1989. Soil Conservation. BT Batsf6rd Ltd. London.
Browse > Home / Daulat Pangan / Refleksi Pengembangan Kapasitas Petani Melalui Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan
Saragih, B. 1993. Pemantapan Perangkat Kelembagaan Sosial Ekonomi : Suatu Upaya Penanggulangan Kemiskinan di DAS Kritis. Dalam. : Sinukaban dkk (Ed). Konservasi Tanah dan Air Kunci Pemberdayaan Petani dan Pelestarian Sumberdaya Alam. Prosiding Kongres 11 dan Seminar Nasional MKTI, Yogyakarta.
SOLO POS (Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian oleh Prof.Dr.Ir.H. Suntoro Wongso Atmojo. MS), Edukasi.net, Ilmu Tanah Fak. Pertanian UGM, dsbnya.
Supardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor Suseno, F.M. 1995. Kuasa dan Moral. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Tarumingkeng, R.C. 1995. Dinamika Perkotaan: Acuan Penelitian Ukrida. Makalah pada Seminar Lokakarya Penyegaran dan Peningkatan Dalam Penelitian. FE UKRIDA

KONSERVASI TANAH DAN AIR

KONSERVASI TANAH DAN AIR

Oleh:
Andi Arie Wija Kusuma
G111 08 004

ABSTRAK

Konservasi tanah dan air atau yang sering disebutpengawetan tanah merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan produktifitas tanah, kuantitas dan kualitas air. Apabila tingkat produktifitas tanah menurun, terutama karena erosi maka kualitas air terutama air sungai untuk irigasi dan keperluan manusia lain menjadi tercemar sehingga jumlah air bersih semakin berkurang.
Konservasi tanah pada umumnya terdapat di berbagai tempat yang secara nyata berdampak pada perbandingan panjang kemiringan tanah yang diakibatkan oleh air hingga tanah menyusut. Lalu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada konservasi air dalam rangka pengontrolan erosi dimana kemirinagan tanah yang telah ditentukan dalam persen dan panjang kemiringan tanah yang disebut dengan system cropping..
I. PENDAHULUAN
Tanah merupakan bagian ekosistem, tempat manusia, hewan, dan tumbuhan melakukan aktifitasnya, sehingga sifat-sifat tanah selalu heterogen, dinamis, dan berbeda dari suatu tempat dengan tempat yang lainnya. Wisaksono (1954); Buol, et al, (1980); Birkeland (1984); Mulyanto (1990); Darmawijaya (1990); Landon (1991), menjelaskan bahwa peran manusia sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan sifat-sifat tanah. Menurut Arsyad (1989), besarnya peran manusia dalam mempengaruhi sifat-sifat tanah diakibatkan oleh pertambahan penduduk yang cukup besar, sehingga kebutuhan akan pangan juga akan meningkat, didukung oleh meningkatnya perkembangan pembangunan dan kemiskinan yang menyebabkan timbulnya persaingan dalam penggunaan lahan dan pembukaan lahan baru di daerah upper DAS dengan melakukan penebangan liar pada hutan-hutan primer, yang seharusnya mempunyai hutan + 40% untuk dijadikan areal penyangga.
Perubahan jumlah manusia dan bentuk kegiatannya akan mengakibatkan perubahan dalam penggunaan lahan dan selanjutnya akan menyebabkan perubahan dalam kualitas lingkungan. Perubahan lingkungan ini sering merupakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam sudah melampaui daya dukung lingkungan. Dampak yang sering terlihat adalah bertambahnya lahan kritis, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi serta terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Perubahan penggunaan lahan ini dalam jangka pendek terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh tetapi pada sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan dengan adanya kawasan lindung/berhutan yang tidak dihitung dalam pengambilan kebijakan untuk merubah penggunaan lahan (Crook dan Clapp, 1988). Hal ini memberikan gambaran bahwa keinginan manusia untuk memperbaiki kehidupan ekonomi tidak berarti manusia boleh mengorbankan kelestarian lingkungan.
Proses perubahan penggunaan lahan ini selain menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat juga tidak lepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi akan menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik. Erosi yang tinggi, banjir pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek bio-fisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Erosi dan banjir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun.
1.1 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktek lapang ini adalah untuk mengetahui konservasi yang digunakan di daerah tersebut.
Kegunaan dari praktek lapang ini adalah untuk mebandingkan teknik konseravasi yang dilakukan dengan yang ada sekarang.

II. Metodologi Percobaan
2.1 Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah merupakan kepekaan tanah terhadap erosi, dengan menggunakan rumus Hammer (1978), dalam Utomo (1989), sebagai berikut:
K = 2,713 M 1,14 (10- 4) (12 - a) + 3,25 (b- 2) + 2,5 (c- 3)
100
Dimana :
M = Persen pasir sangat halus + persen debu X ( 100 - % liat )
a = kandungan bahan organic (% C x 1,724) = 0,008 gram
b = harkat struktur tanah = 0,07 cm/jam
c = harkat permeabilitas tanah = 0,4 cm/jam
2.2 Faktor Erosivitas Hujan (R)
E = f (I, r, v, t, m)
Dimana :
E = Erosi f = topografi I = Iklim v= Vegetasi
Sedangkan indikasi erosi menurut Universal Soil Loss Equation (USLE), dikenal dengan adanya persamaan:
A = R x K x LS x C x P
Faktor Erosivitas Hujan (R)
R = ∑n = 1 E I30 E I30 = E ( I 30 10-2)

Atau dengan digunakan berbagai formula atau persamaan untuk memperoleh nilai R, diantaranya rumus pendugaan EI 30 menurut Bols (1978), yaitu :
E I 30 = 6.119 (R)1,21 (H) -0,47 ( RM)0,53
Dimana :
E I30 = Indeks erosiviotas hujan bulanan rata – rata
R = Curah hujan rata – rata bulanan (cm)
H = jumlah hari hujan rata – rata bulanan ( hari )
RM = Curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm)
2.3 Metode Penetapan Tekstur di Laboratorium
a. Penentuan Tekstur dengan Menggunakan Hidrometer
V = K . D2
Dimana :
V = Kecepatan jatuh partikel atau fraksi
K = Konstanta yang tergantung pada suhu dan berat jenis padatan
Partikel.
D = Diameter partikel tanah.
b. Prosedur Kerja
1. Timbang 20 gram tanah kering udara, butir-butir tanah ini berukuran kurang
dari 2 mm.
2. Masukkan kedalam Erlenmeyer atau botol tekstur dan tambahkan 10 ml calgon 0,05% dan air secukupnya.
3. Tutup dengan plastik, kocok dengan mesin pengocok selama 1 - 2 jam.
4. Tuangkan secara kualitatif semua isinya kedalam silinder sedimentasi 500 ml yang di atasnya dipasangi saringan dengan diameter lubang sebesar 0,05 mm dan bersihkan botol tekstur dengan bantuan botol semprot.
5. Semprot dengan sprayer sambil diaduk-aduk semua suspensi yang masih tinggal pada saringan sehingga semua partikel debu dan liat telah turun (air saringan telah jernih).
6. Pasir yang tertinggal dipindahkan kedalam cawan dengan pertolongan botol semprot kemudian masukkan dalam oven bersuhu 105oC selama 2 x 24 jam, selanjutnya masukkan dalam desikator dan timbang hingga berat pasir diketahui (catat sebagai C gram).
7. Cukupkan larutan suspensi dalam silinder sedimentasi dengan air destilasi hingga 500 ml.
8. Angkat silinder sedimentasi, sumbat baik-baik dengan karet lalu kocok dengan membolak-balik tegak lurus 180o sebanyak 20 kali, atau dapat juga dilakukan dengan memasukkan pengocok kedalam silinder sedimentasi lalu aduk naik turun selama 1 menit.
9. Dengan cepat tuangkan kira-kira 3 tetes amyl alcohol kepermukaan suspensi untuk menghilangkan gangguan buih yang mungkin timbul.
10. Setelah 15 detik, masukkan hydrometer kedalam suspensi dengan hati-hati agar suspensi tidak banyak terganggu.
11. Setelah 40 detik, baca dan catat pembacaan hydrometer pertama (H1) dan suhu suspensi (t1).
12. Dengan hati-hati keluarkan hydrometer dari suspensi.
13. Setelah menjelang 8 jam, masukkan hydrometer dan catat pembacaan hydrometer kedua (H2) dan suhu suspensi (t2).
14. Hitung berat debu dan liat dengan menggunakan persamaan dibawah ini :
Berat debu dan liat = [ H¬1 + 0,3 (t1 – 19,8)] – 0,5………………..(a)
2

Berat liat = [ H¬2 + 0,3 (t2 – 19,8)] – 0,5…………….....(b)
2

Berat debu = berat (debu + liat ) – berat liat ……….….. (c)
15. Hitung persentase pasir, debu dan liat dengan persamaan :
% pasir = C x 100
a+ c


% debu = (a - b) x 100
a+ c


% liat = b x 100
a+ c


16. Masukkan nilai yang di dapat dalam segitiga tekstur.

2.4 Metode Penetapan Bahan Organik
a. Prosedur Kerja
1. Timbangkan contoh tanah dengan neraca analitis sebanyak 2 gram.
2. Masukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml.
3 Tambahkan dengan teliti 10 ml larutan K2Cr2O7 1 N (pipet) dan reaksikan dengan 10 ml H2SO4 dan biarkan reaksi dapat dilakukan pemanasan suspensi pada suhu 40oC selama 5 menit.
4. Tambahkan aquades kira-kira 50 ml dan 10 ml H3PO4.
5. Tetesi 1 ml indikator dan tambahkan pula larutan F++ yang telah distandarisasi.
6. Titik akhir titrasi adalah pada saat terjadi perubahan warna biru kehitaman menjadi hijau.
7. Catat volume titran Fe++ yang digunakan, begitupula normalitas.
b. Perhitungan
% C = (ml B – ml t) N x 3 x 1,33
Mg contoh tanah tanpa air

% Bahan Organik = % C x 1,724
2.5 Metode Penetapan Permeabilitas
a. Prosedur Kerja
1. Menutup salah satu ujung ring sampel dengan barrier untuk menahan tanah di dalam ring. Untuk itu, dapat menggunakan dua helai kain yan cukup porous tetapi efektif menahan partikel, mengikat dengan karet gelang. (Konduktivitas material yang digunakan harus sebesar mungkin, tetapi cukup efektif menahan tanah).
2. Meletakkan sampel, dengan bagian yang tertutup barrier di bagian bawah, ke dalam sebuah tray yang berisi air. Kedalaman air kira-kira stengah dari tinggi sampel. Setelah seluruh permukaan tanah sampel basah, menaikkan terendam selama sedikitnya 12 jam.
3. Selanjutnya sampel tanah utuh dimasukkan kedalam permeameter.
4. Kemudian mencatat jumlah air yang mengalir dari sampel tanah ke pipa kapiler kemudian diteruskan ke dalam buret dalam waktu 1 jam.

Perhitungan Permeabilitas dengan dasar Hukum Darcy (Syarief, 1989)
K = Q x L x 1
t h A
Dimana
K = Permeabilitas (cm/ jam)

Q = Banyak air yang mengalir pada setiap pengukur (ml)

L = Tebal contoh tanah (cm) (tinggi ring sampel)

A = Luas contoh tanah (cm) (luas permukaan tanah )

t = Waktu pengukuran (jam)

h = Tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah (cm) (konstan 4 cm)


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Erosivitas Hujan (R)
Indeks erosivitas hujan (R) yang digunakan adalah EI30 yang menurut Bols (1978) dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
EI30 = 6.119 (R)1.21(H)-0.47(RM)0.53
Dimana :
EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan rata-rata
R = curah hujan rata-rata bulanan (cm)
H = jumlah hari hujan rata-rata bulanan (hari)
RM = curah hujan maksimum 24 jam bulanan (cm)
Tabel . Data Curah Hujan Tahun 2007
Bulan Curah Hujan Rata-Rata (cm/bulan) Jumlah Hari Hujan (hari) Curah Hujan Maksimal (cm)
Januari 9 6 20
Februari 16 11 27
Maret 21 4 43
April 15 16 45
Mei 21 12 40
Juni 10 10 23
Juli 12 4 20
Agustus 19 2 26
September 24 1 24
Oktober 15 11 29
Nopember 10 11 17
Desember 18 15 40
Besarnya indeks erosivitas hujan pada lahan praktek lapang diketahui sebesar 6.892 cm/bulan.
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah (K) adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibiltas tanah dapat diduga dengan mengetahui nilai analisis ukuran partikel (tekstur tanah), kandungan C-organik dan permeabilitasnya. Erodibiltas tanah dapat diduga dengan menggunakan nomograf (Wischmeier, 1971), atau menggunakan rumus Hammer (1978) berikut :
K=(2.713M^(1.14) (〖10〗^(-4) )(12-a)+3.25(b-2)+2.5(c-3))/100
Dimana :
M = persen pasir sangat halus + persen debu nya (100 - %liat)
a = kandungan bahan organik (%C nya 1,724)
b = harkat struktur tanah
c = harkat permeabilitas tanah
Tabel 2. Kelas erodibilitas tanah menurut USDA-SCS
Kelas USDA-SCS Nilai K Uraian Kelas
1
2
3
4
5
6 0 – 0,10
0,11 – 0,20
0,21 – 0,32
0,33 – 0,43
0,44 – 0,55
0,56 – 0,64 Sangat rendah
Rendah
Sedang
Agak tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

Berdasarkan dari hasil analisis tersebut maka diketahui bahwa nilai erodibiltas tanah (K) pada lahan praktek lapang terpadu yaitu sebesar 0,1199 dengan kriteria rendah.
Penetapan Tekstur Tanah
Penetapan tekstur tanah dapat diketahui dengan analisis laboratorium menggunakan metode segitiga tekstur (USDA) sehingga akan diperoleh persentase pasir, debu, dan liat. Hasil analisis tekstur menunjukkan bahwa lahan praktek lapang memiliki 44,42 % pasir, 1,71 % debu, dan 33,87 % liat, dalam analisis segitiga tekstur (USDA) tergolong kedalam kelas liat.
Penetapan Bahan Organik
Pada prinsipnya metode penetapan bahan organik dapat dikelompokkan berdasarkan kehilangan berat, kandungan unsur C, dan Reagen. Bahan organik pada suatu lahan dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
% C= ((ml B-ml t)Nx3x1,33)/(mg contoh tanah tanpa air)
% Bahan Organik=%C x 1,724
Dari hasil analisis diketahui bahwa persentase bahan organik pada lahan praktek lapang terpadu, yaitu sebesar 0,013
Penentuan Permeabilitas
Permeabilitas merupakan sifat yang menyatakan laju pergerakan suatu zat cair melalui suatu media yang berpori-pori, dan disebut pula konduktifitas hidrolik yang dipengaruhi oleh kadar air pada saat air dialirkan sehingga permeabilitas tanah dan hantaran hidrolik tanah sebagian besar pada ukuran pori dan tingkat pengisian pori-pori oleh air pada suatu tingkat tertentu. Perhitungan permeabilitas dengan dasar Hukum Darcy (Syarief, 1989) :
K= Q/t x L/h x 1/A cm/jam
Hasil analisis diketahui bahwa nilai permeabilitas lahan tersebut yaitu sebesar 0,4 cm/jam dengan kriteria lambat.
Faktor Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng (LS)
Faktor panjang dan kemiringan lereng dihitung menggunakan rumus Morgan (1979), menggunakan nomograf nilai faktor LS (Arsyad, 2006), dengan persamaan :
LS= √L/100(1,38+0,965 S+〖0,138 S〗^2
Dimana :
LS = faktor lereng
L = panjang lereng
S = persen kemiringan lahan
Nilai panjang dan kemiringan lereng pada lahan praktek lapang tersebut, diketahui sebesar 77,85 cm
Faktor Vegetasi Penutup Tanah (C)
Kondisi tutupan lahan berdasarkan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui nilai indeks tutupan vegetasi di lokasi praktek. Dan nilai C dapat dihitung dengan persamaan :
C= A/(R x K x LS x P)
Dimana :
A = Banyaknya tanah yang tererosi
R = Faktor Erosivitas hujan
K = Faktor Erodibilitas tanah
L = Faktor panjang lereng
S = Faktor kemiringan lereng
C = Faktor vegetasi penutup tanah
P = Faktor tindakan konservasi tanah
Nilai C juga dapat diketahui dengan menggunakan tabel indeks pengelolaan tanaman berikut, sehingga diperoleh niilai indeks tutupan vegetasi di lokasi praktek lapang diketahui sebesar 0,1 karena jenis tanaman yang ada pada lokasi praktek lapang merupakan tanaman perkebunan.
Tabel . Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C)
Jenis Tanaman C
Padi sawah 0,01
Tebu 0,2 – 0,3*
Padi gogo (lahan kering) 0,53
Jagung 0,64
Sorgum 0,35
Kedelai 0,4
Kacang tanah 0,4
kacang hijau 0,35
Kacang tunggak 0,3
Kacang gude 0,3
Ubi kayu 0,7
Talas 0,7
Kentang ditanam searah lereng 0,9
Kentang ditanam menurut kontur 0,35
Ubi jalar 0,4
Kapas 0,7
Tembakau 0,4 – 06*
Jahe dan sejenisnya 0,8
Cabe, bawang, sayuran lain 0,7
Nanas 0,4
Pisang 0,4
Teh 0,35
Jambu mete 0,5
Kopi 0,6
Coklat 0,8
Kelapa 0,7
Kepala sawit 0,5
Cengkeh 0,5
Karet 0,6–0,75*
Serai wangi 0,45
Rumput Brachiaria decumbens tahun 1 0,29
Rumput Brachiaria decumbens tahun 2 0,02
Rumput gajah, tahun 1 0,5
Rumput gajah, tahun 2 0,1
Padang rumput (permanen) bagus 0,04
Padang rumput (permanen) jelek 0,4
Alang-alang, permanen 0,02
Alang-alang, dibakar sekali setiap tahun 0,1
Tanah kosong, tak diolah 0,95
Tanah kosong diolah 1,0
Ladang berpindah 0,4
Pohon reboisasi, tahun 1 0,32
Pohon reboisasi, tahun 2 0,1
Tanaman perkebunan, tanah ditutup dengan bagus 0,1
Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek 0,5
Semak tak terganggu 0,01
Hutan tak terganggu, sedikit seresah 0,005
Hutan tak terganggu, banyak seresah 0,001
Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009).

Faktor Tindakan Konservasi (P)
Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi (Suripin, 2001). Nilai P adalah 1,0 yang diberikan untuk lahan tanpa adanya tindakan pengendalian erosi. Menurut USLE persamaan umum nilai P yaitu sebagai berikut:
P= A/(R x K x LS x C)
dimana :
C = nilai faktor pertanaman
R = erosivitas
K = erodibilitas
LS = faktor lereng
P = faktor tindakan konservasi
Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) sebesar 0,1.
Dari faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, tekstur tanah, permeabilitas tanah, kandungan bahan organik, faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor vegetasi penutup tanah, dan faktor tindakan konservasi, maka diketahui indikasi erosi lokasi praktek lapang terpadu, yaitu sebesar ............. yang diperoleh dari persamaan berikut :
A = R x K x L x S x C x P
Dimana :
A = Banyaknya tanah yang tererosi
R : Indeks erosivitas hujan
K : Indeks erodibilitas tanah
L : Indeks Panjang Lereng
S : Indeks Kemiringan Lereng
C : Indeks penutup tanah
P : Indeks tindakan konservasi tanah

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum konservasi tanah dan air yang telah dilaksanakan diperoleh bahwa nilai erosivitas lahan adalah 6076,11, panjang lereng 3,02 m dengan kemiringan 14,24 sehingga faktor panjang dan kemiringan lereng adalah 0,75. Adapun indikasi erosinya adalah 572,745 yang diperoleh dari faktor erodibilitas tanah 0.1199, dengan kadar organik 0,013%, permeabilitas 0,4 cm/jam dan vegetasi serta faktor tindakan konservasi masing-masing sebesar 0,1.
Keberhasilan penerapan teknologi konservasi tanah dan air di suatu wilayah sangat tergantung pada kesesuaian dan kemampuan lahan, biaya dan dalam pelaksanaannya diarahkan untuk menerapkan teknologi sederhana yang ramah lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat. Jadi teknik konservasi yang dilaksanakan oleh masyarakat di tempat praktek lapang terpadu sudah sesuai, karena lahannya merupakan lahan miring dan mereka menggunakan system teras. Selain itu, teknik konservasi yang dapat diterapakan adalah pemenfaatan sisa-sisa tanaman (pangkasan).